Rabu 10 Jul 2019 11:53 WIB

AS Sebut Jual Senjata ke Taiwan tak Ubah Kebijakan 1 Cina

Cina menyebut penjualan senjata AS ke Taiwan mengganggu urusan dalam negeri Cina.

Rep: Rossi Handayani/ Red: Ani Nursalikah
Pesawat tempur Taiwan, F-16 yang didapat dari paket militer AS sedang lepas landas dari bandara.
Foto: REUTERS
Pesawat tempur Taiwan, F-16 yang didapat dari paket militer AS sedang lepas landas dari bandara.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) menyatakan penjualan senjata ke Taiwan bertujuan mempromosikan perdamaian dan stabilitas di kawasan Asia Pasifik. AS mengatakan hal itu tidak mengubah kebijakan Satu Cina.

China telah meminta AS membatalkan penjualan setelah Departemen Luar Negeri menyetujui permintaan Taiwan untuk membeli peralatan militer senilai 2,2 miliar dolar AS. Kesepakatan yang diumumkan, Senin, oleh Badan Kerja Sama Keamanan Pertahanan itu termasuk penjualan 108 tank M1A2T Abrams, 250 rudal yang ditembakkan oleh Stinger dan lebih dari 1.500 rudal antitank. Badan itu menyatakan paket itu tidak akan mengubah keseimbangan militer dasar di wilayah itu.

Baca Juga

"Ketertarikan kami pada Taiwan, terutama yang berkaitan dengan penjualan militer ini, adalah untuk mempromosikan perdamaian dan stabilitas di seluruh Selat (Taiwan), di seluruh wilayah," kata juru bicara Departemen Luar Negeri Morgan Ortagus, dilansir di Voice of America, Rabu (10/7).

Dia mengatakan tidak ada perubahan, tentu saja, dalam kebijakan Satu China yang sudah lama berlaku. Ucapannya itu didasarkan pada tiga Komunike Bersama AS dan China dan Taiwan Relations Act.

Seorang pejabat Departemen Luar Negeri menyatakan kepada VOA penjualan yang disetujui konsisten dengan hukum dan kebijakan AS. "Penjualan yang diusulkan ini melayani kepentingan nasional, ekonomi, dan keamanan AS dengan mendukung upaya penerus penerimanya untuk memodernisasi angkatan bersenjatanya dan untuk mempertahankan kemampuan pertahanan yang kredibel," kata pejabat itu.

Di Taipei, Presiden Taiwan Tsai Ing-wen menyatakan penghargaan atas kesepakatan itu. Ia mengatakan senjata defensif yang diberikan oleh AS akan meningkatkan kemampuan bela diri Taiwan dan mencegah potensi ancaman militer.

Dalam sebuah twit pada Selasa, Tsai mengatakan Taiwan akan terus berinvestasi dalam pertahanan nasional, mempertahankan demokrasi sambil mempromosikan perdamaian dan stabilitas regional. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina Geng Shuang meminta AS Selasa untuk segera membatalkan perjanjian itu, dengan mengatakan itu secara serius melanggar prinsip Satu Cina.

Dia mengatakan, hal tersebut sangat mengganggu urusan dalam negeri Cina, merusak kedaulatan dan kepentingan keamanan Cina. Geng juga mengatakan Cina telah mengajukan keluhan resmi dengan AS melalui saluran diplomatik.

Cina dan Taiwan berpisah setelah perang saudara 1949 saat pasukan Nasionalis Chiang Kai-shek diusir dari daratan oleh Komunis Mao Zedong dan mencari perlindungan di Taiwan. Tetapi Cina menganggap pulau yang diperintah sendiri itu bagian dari wilayahnya dan telah bersumpah mengambil kendali atas pulau itu.

AS mengalihkan pengakuan diplomatik dari Taiwan ke Cina pada 1979, tetapi presiden AS terikat oleh hukum untuk memasok senjata dan membela diri. Perjanjian itu juga datang di tengah sengketa perdagangan yang sedang berlangsung antara administrasi Trump dengan Beijing.

Pengumuman AS tentang kemungkinan penjualan senjata militer ke Taiwan disambut oleh Dewan Bisnis AS-Taiwan. Sebuah organisasi yang didedikasikan untuk mengembangkan hubungan perdagangan dan bisnis antara AS dan Taiwan.

"Tank dan rudal ini akan memberikan kemampuan modern kepada tentara Taiwan untuk menghalangi dan mempersulit perencanaan operasional pasukan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) yang memaksa dan mengancam Taiwan," kata Presiden Dewan Rupert Hammond-Chambers.

Hubungan antara Beijing dan Taipei tegang sejak Presiden Tsai Ing-wen, pemimpin Partai Progresif Demokratik pro kemerdekaan, mulai menjabat pada 2016. Ia menolak menerima konsep Cina dan Taiwan bergabung bersama sebagai satu Cina.

Beijing sejak itu menerapkan sikap agresif terhadap Taipei, seperti melakukan latihan militer di Selat Taiwan, menghalangi partisipasi Taipei dalam organisasi internasional. Selain itu, membujuk beberapa negara untuk mengalihkan hubungan diplomatik dari Taiwan ke Cina.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement