REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Eropa mendesak Iran kembali mematuhi kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Hal itu disuarakan setelah Iran melakukan pengayaan uranium dan melampaui batas yang ditetapkan dalam JCPOA.
“Iran telah menyatakan mereka ingin tetap berada dalam JCPOA. Ia harus bertindak sesuai dengan membalikkan kegiatan ini (pengayaan uranium) dan kembali pada kepatuhan JCPOA penuh tanpa penundaan,” kata menteri luar negeri Inggris, Prancis, Jerman, dan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa dalam sebuah pernyataan, Selasa (9/7).
Menurut mereka, masalah kepatuhan itu harus diatasi dalam kerangka kerja JCPOA. Komisi Gabungan juga harus segera dibentuk. Federica Mogherini selaku kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa akan mengetuai komisi tersebut.
Komisi Gabungan akan diisi oleh pihak-pihak yang masih terikat dalam JCPOA. Ia bertugas memantau implementasi serta mengatasi masalah apa pun yang terkait dengan kesepakatan nuklir Iran.
Iran telah melakukan pengayaan uranium melampaui batas 3,67 persen seperti telah diatur dalam JCPOA. Juru bicara Badan Energi Atom Iran Behrouz Kamalvandi mengatakan, tingkat pengayaan uranium negaranya saat ini telah mencapai di atas 4,5 persen.
Iran masih menyatakan bahwa pengayaan uranium itu dilakukan hanya untuk tujuan damai. Di sisi lain, level pengayaan yang saat ini telah dicapai masih jauh dari cukup untuk memproduksi senjata nuklir.
Kendati demikian, Teheran menegaskan siap menempuh langkah lebin jauh. Pada Ahad lalu, Presiden AS Donald Trump memperingatkan Iran agar berhati-hati. “Iransebaiknya Anda berhati-hati karena Anda memperkaya (uranium) karena satu alasan dan saya tidak akan memberitahu Anda apa alasannya, tapi itu tidak baik,” ujarnya.
Trump tak menjelaskan langkah apa yang kemungkinan diambil AS merespons pengayaan uranium oleh Iran yang melampaui ketentuan JCPOA. Dia hanya menegaskan bahwa Teheran tidak akan pernah memiliki senjata nuklir.