Rabu 10 Jul 2019 13:45 WIB

Di Ibu Kota Baru tidak Ada Elpiji dan Sumur

Ibu kota baru Indonesia digambarkan sebagai kota ideal atau liveable.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas  Bambang Brodjonegoro (tengah) dalam sesi diskusi bertajuk Pindah Ibu Kota  Negara: Belajar dari Pengalaman Sahabat di Gedung Bappenas, Jakarta, Rabu  (10/7).
Foto: Republika/Adinda Pryanka
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (tengah) dalam sesi diskusi bertajuk Pindah Ibu Kota Negara: Belajar dari Pengalaman Sahabat di Gedung Bappenas, Jakarta, Rabu (10/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menggambarkan ibu kota baru Indonesia sebagai kota ideal atau liveable. Sehingga, desainnya membutuhkan lahan relatif luas dengan perkembangan kota yang tetap terkendali.

Bambang menjelaskan, pemerintah berkaca dari beberapa kota di Indonesia saat ini. Banyak di antara mereka yang pada umumnya tidak melalui tahap perencanaan dengan baik. 

Baca Juga

"Kotanya kecil, tapi berkembang terlalu pesat sehingga perencanaan tidak ideal," ucapnya dalam sesi diskusi bertajuk "Pindah Ibu Kota Negara: Belajar dari Pengalaman Sahabat" di gedung Bappenas, Jakarta, Rabu (10/7).

Untuk mencapai konsep liveable, Bambang mengatakan, lokasi ibu kota baru Indonesia akan dibangun di daerah kosong, bukan yang sudah ada. Dengan begitu, pemerintah dan pemangku kepentingan lain dapat melakukan perencanaan awal lebih mudah, termasuk dalam penyiapan infrastruktur. 

Pemerintah sendiri sudah memikirkan berbagai konsep untuk diterapkan di ibu kota baru. Salah satunya, tidak ada lagi penggunaan elpiji. Pemerintah pun tidak akan memberikan subsidi elpiji tiga kilogram. 

Bambang menekankan, masyarakat di ibu kota baru nantinya akan memasak dengan jaringan gas kota yang sudah dibangun sejak awal. "Jadi, tidak akan seperti saat ini, di mana banyak orang bergantung dengan elpiji karena tidak ada jaringan gas kota," tuturnya. 

Begitupun dengan air. Bambang menuturkan, tidak ada lagi rumah yang menggunakan sumur. Setiap tempat tinggal akan langsung terhubung dengan jaringan dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Dengan begitu, ketersediaan air akan tetap terjaga dan masyarakat dapat menikmati air berkualitas tanpa merusak lingkungan. 

Konsep ketiga yang juga sudah disusun pemerintah untuk ibu kota baru adalah terkait polusi. Bambang menjelaskan, lokasi ibu kota baru nantinya akan mengaplikasikan green city dan forest city.

"Energinya harus terbarukan, clean dan renewable energy," katanya. 

Bambang memberikan contoh beberapa ibu kota negara yang merupakan hasil pindahan dan menerapkan konsep liveable. Di antaranya Washington DC yang kini menjadi ibu kota Amerika dan ibu kota Australia, Canberra. Bambang menggambarkan kedua kota tersebut memiliki tata kota yang relatif sangat baik dan nyaman untuk dihuni.

Bambang menekankan, pemindahan ibu kota bukanlah hal baru. Beberapa negara sudah melakukannya, termasuk Brazil, Malaysia, Nigeria, dan Mesir. 

Di Indonesia, isu tersebut juga bukanlah wacana baru. Bambang menjelaskan, pemindahan ibu kota sudah sempat disampaikan Presiden Sukarno pada 1947 dan Presiden Soeharto pada 1980-an. 

"Tapi, pada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), isu tersebut akan lebih menjadi konkret," ujarnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement