REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang warga tampak sedang duduk di dekat tangki penampungan air sambil mengisi sekitar 20 jeriken yang ia letakan di dalam sebuh gerobak kayu sederhana. Sambil sesekali menghisap sebatang rokok yang ia pegang, laki-laki paruh baya itu terus memindahkan letak selang ke setiap jeriken yang memiliki kapasitas menampung air sebanyak 20 liter.
Darmanto namanya. Ia bercerita, sehari-hari dirinya akan berkeliling di sekitar Kampung Nelayan, Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara untuk berjualan air bersih yang ia ambil dari tangki milik PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja). Empat jeriken ia hargai Rp 7.000.
Air tawar bersih yang ia jual itu pun tidak didapatkan dengan gratis. Ia harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 12 ribu untuk sekali pengisian. Dalam sehari, ia bisa tiga kali bolak-balik ke tempat pengisian air tersebut.
Menurut Manto, panggilan akrabnya, selama musim kemarau seperti saat ini, air dagangannya laku keras. Namun, persediaan air di tangki pun menjadi sedikit terbatas.
"Kalau lagi kemarau begini, biasanya dibatasi juga buat ngambil airnya. Syukur bisa ambil tiga kali, kadang cuma boleh sekali atau dua kali," ujar Manto.
Sementara itu, Bendahara RW 01 Kampung Nelayan Kamal Muara, Nunung Warsono mengatakan, masyarakat di wilayah tersebut sebenarnya tidak hanya kesulitan mendapatkan air tawar bersih pada musim kemarau. Tetapi juga pada musim hujan.
Namun, Nunung menyebut, ketika musim hujan warga cukup terbantu mendapatkan air dengan cara menampung air hujan. Pipa-pipa paralon dipasang di sisi bawah atap dan kemudian diarahkan menuju drum atau klentung yang ada di bawahnya.
Air hujan yang ditampung itu pun kemudian digunakan untuk keperluan mencuci, masak dan mandi. Menurut Nunung, warga kesulitan mendapatkan air tawar bersih karena letak lokasi pemukiman itu yang berada di pesisir pantai. Selain itu, banyaknya galian dari perusahaan juga membuat kondisi air tanah menjadi tercemar.
Laki-laki berusia 63 tahun itu mengatakan, sangat sedikit warga yang menggunakan mesin pompa air atau jet pump untuk mendapatkan air bersih. Kalau pun ada warga yang menggunakan pompa, air yang didapat pun terasa asin dan keruh.
"Pakai pompa juga airnya agak asin dan keruh, jadi tidak bisa dipakai buat masak atau mandi," kata dia.
Nunung pun berharap agar pemerintah bersedia membantu masyarakat yang ada di Kampung Nelayan Kamal Muara dalam mendapatkan air tawar bersih dan layak dikonsumsi. "Sekarang sih katanya PAM pipanya baru sampai Tegal Alur. Semoga dalam waktu dekat bisa sampai juga ke wilayah ini. Jadi masyakarat bisa mendapatkan air bersih dengan mudah," paparnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Nanik Jayanti. Perempuan yang memiliki toko kelontong ini mengaku, dalam sebulan ia merogoh kocek sekitar Rp 400-500 ribu untuk mendapatkan air bersih.
Sebesar Rp 50 ribu ia keluarkan untuk mengambil air dari sumur yang terdapat di masjid dekat tempat ia tinggal. Namun, ia mengatakan, air sumur itu rasanya sedikit asin. Sehingga air itu ia gunakan untuk mencuci baju-baju tertentu.
Sebab, kata dia, jika air itu digunakan untuk mencuci pakaian berwarna putih, maka akan membuat warna baju berubah menjadi agak kekuningan. Sedangkan jika digunakan untuk mencuci peralatan dapur yang berbahan logam, maka akan menimbulkan karat.
"Jadi kalau mencuci baju sekolah gitu atau yang warna putih, pakai air PAM, biar enggak jadi kuning-kuning gitu," ujar Nanik.
Nanik menuturkan, untuk mendapatkan air PAM ia bersama saudaranya akan berpatungan membeli air. Dalam sebulan, keluarganya yang beranggotakan sembilan orang itu membutuhkan dua mobil tangki air bersih. Namun, ia enggan merinci, berapa harga air dalam satu mobil tangki itu.
Ia menjelaskan, air dari mobil tangki itu akan ditampung ke dalam tandon yang berada di depan rumahnya. Air tersebut pun akan ia gunakan untuk memasak dan minum.
"Tapi, kadang saya juga suka ambil air dari galon isi ulang. Tinggal ambil dari warung saya saja," katanya sambil terkekeh.