REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly mengatakan, diskusi bersama pakar-pakar hukum sudah mencapai 70 persen. Mereka membahas rencana pengajuan amnesti kepada Presiden RI perihal kasus terpidana pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Baiq Nuril, Rabu (10/7).
''Masih berlangsung (diskusi dengan pakar hukum), sudah kira-kira 70 persen. Tapi, saya mau supaya lebih lengkap lah,'' kata Yasonna saat ditemui di peresmian gedung baru kantor imigrasi Bekasi, Jawa Barat, Rabu.
Setelah berdiskusi dengan pakar-pakar hukum, Yasonna mengaku terdapat pro dan kontra mengenai amnesti. Beberapa pakar mengatakan bahwa amnesti kurang pas untuk diajukan perihal kasus Baiq Nuril.
Yasonna menambahkan bahwa selama ini amnesti diajukan untuk kasus-kasus politik. Namun, kata dia, pernah juga dalam sejarah di Indonesia beberapa kasus bahwa amnesti diberikan untuk perorangan.
''Walau sudah ada tim pakar, saya masih terus mencoba melakukan kajian dari perspektif-perspektif lain supaya nanti informasi yang utuh, bisa diberikan kepada presiden,'' katanya.
Yasonna mengatakan sampai saat ini ia belum mengajukan amnesti kepada presiden. Dia masih menerima masukan dari teman-teman bidang hukumnya melalui diskusi-diskusi kecil dan percakapan di media sosial WhatsApp.
''Kalau Nuril tidak diberikan amnesti, nanti justru arus baliknya adalah kita khawatirkan ribuan korban kekerasan seksual itu merasa tidak terlindungi. Ini yang kita pikirkan sekarang,'' ujar Yasonna.
Sebelumnya pada Senin (8/7), Yasonna bertemu dengan Baiq Nuril yang ditemani oleh kuasa hukumnya Joko Jumadi dan politikus PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka di kantor Kemenkumham RI. Dalam pertemuan itu, mereka membahas mengenai langkah hukum selanjutnya yaitu pengajuan permohonan amnesti kepada presiden Joko Widodo. Langkah ini dilakukan setelah upaya hukum berupa peninjauan kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril pada (3/1/2019) ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).