Kekhawatiran bergabungnya sebagian besar partai ke kubu pemerintah pun memunculkan kekhawatiran tersendiri. Gemuknya koalisi pendukung pemerintah dikhawatirkan bakal mengganggu konsep check and balance yang menjadi konsep dasar pemerintahan dengan landasan demokrasi. Artinya, hilangnya oposisi adalah bencana bagi sebuah demokrasi.
Padahal, menurut Ketua Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor, oposisi adalah aspek yang krusial dalam proses politik. Negara yang besar, kata dia, pasti memiliki oposisi sebagai mekanisme kritik kebijakan pemerintah.
Di Indonesia, kata Firman, menjadi oposisi seolah menjadi bagian yang tidak terhormat. Menjadi oposisi seolah menjadi pesakitan, pihak yang kalah, dan sakit hati akibat kalah kontestasi dalam pemilu. Stigma oposisi pesakitan itu dibangun saat awal Orde Baru untuk membungkam alternatif pemikiran.
"Alternatif pemikiran itu dianggap tidak perlu karena Orde Baru yang mempunyai karakteristik otoriter mengklaim diri sudah paham seluk-beluk semuanya, jadi tidak perlu ada nasihat dan tidak perlu ada masukan," ujar Firman.
Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno bersama para partai koalisi memberikan keterangan terkait putusan MK tentang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2019 di Kertanegara, Jakarta Selatan, Kamis (27/6).
Pada era itu, yang memiliki pandangan berbeda atau sakit hati, dianggap sebagai kalangan yang kecewa atau berkecil hati. Mereka dianggap sebagai kalangan yang melawan pemerintah. "Nah, cara pandang seperti itu masih ada di sebagian masyarakat kita. Sayangnya, pemerintahan kita saat ini memperlakukan oposisi dengan tidak terhormat," kata Firman.
Melihat dinamika yang terjadi saat ini, isu pergeseran partai dari oposisi ke koalisi pemerintahan dibarengi dengan dorongan rekonsiliasi pascapemilu yang dianggap menciptakan polarisasi besar di masyarakat. Namun, menurut Firman, rekonsiliasi tak harus dimaknai dengan bagi-bagi kursi dalam kerangka koalisi pemerintahan.
Kondisi ini adalah keadaan di mana partai menggunakan sumber daya negara untuk mempertahankan posisinya dalam sistem politik. Kartel politik akan menciptakan iklim pembuatan kebijakan pemerintahan tanpa kontrol. Maka itu, kata Firman, rekonsiliasi sejatinya dapat dilakukan tanpa harus menghilangkan oposisi.
Lemahnya oposisi politik, kata Firman, menjadi suatu kemunduran bagi demokrasi Indonesia. Padahal, kondisi demokrasi Indonesia saat ini saja sedang berada dalam titik yang kurang menggembirakan. Berdasarkan institusi internasional pemantau demokrasi, Freedom House, Indonesia hanya mampu mendapatkan skor 62 dari 100.
Firman berpendapat, setidaknya harus ada pihak yang bisa melihat apa yang tidak dilihat pemerintah dan bisa mendengar apa yang tidak didengar oleh pemerintah serta bisa menyuarakan aspirasi rakyat yang memang terhambat di dalam jalannya pemerintahan. "Tentu harus ada. Karena di dalam itulah kita bisa mendongakkan kepala bahwa Indonesia masih demokratis," kata dia.