REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengajuan amnesti terpidanan pelanggaran UU ITE Baiq Nuril disebut sesuai dengan hukum dan konstitusi yang berlaku. Instrumen amnesti bahkan dinilai sebagai instrumen yang paling tepat untuk membebaskan Nuril dari jerat hukum.
Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengakui, instrumen amnesti untuk Baiq Nuril memunculkan perdebatan tersendiri. Secara historiis, amnesti baru diberikan pada orang-orang dengan kasus makar atau kasus politik, misalnya Budiman Sudjatmiko, Sri Bintang Pamungkas, dan Muchtar Pakpahan.
Namun, merujuk pada UU nomor 11 tahun 1954, pemberian amnesti tidak dibatasi pada kejahatan tertentu. "Yang tersedia instrumennya itu (amnesti) ya tidak masalah untuk dicoba untuk diajukan," kata Arsul di Kompleks Parlemen RI, Jakarta, Rabu (10/7).
Secara prosedur, Baiq Nuril dan kuasa hukumnya akan mengajukan amnesti ke Presiden. Presiden sebelum mengeluarkan putusan akan meminta pertimbangan DPR seperti yang diamanatkan dalam pasal 14 ayat 2 UUD NRI 1945. "Kewajiban kami di DPR untuk mendukung presiden memberikan amnesti, itu saya kira DPR dalam posisi mendukung," kata Arsul.
Ketua Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI) Widodo Dwi Putro juga menegaskan, Pasal 1 UU Darurat No. 11 tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi bahwa Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. "Tidak menyebutkan secara spesifik untuk narapidana politik, yang memang tidak dikenal dalam istilah hukum," kata Widodo dalam keterangannya, Rabu (10/7).
Widodo mengungkapkan, UUD 1945 sendiri tidak memberi batasan apapun mengenai perkara mana yang bisa masuk dalam konteks grasi, amnesti, abolisi, maupun rehabilitasi. Lebih dari itu, lanjut Widodo, kasus Nuril tidak bisa dilihat sebagai kasus hukum pidana biasa yang berdiri sendiri, tetapi berdimensi “kepentingan negara” yang luas.
Ia berpendapat, kepentingan negara sesungguhnya bukanlah soal apakah terpidana merupakan narapidana politik dan juga bukan soal apakah pasalnya adalah pasal politik atau kejahatan politik. Melainkan, lebih pada persoalan dimensi kepentingan negara dari substansi perkaranya.
Menurut Widodo, mepentingan negara dalam kasus Baiq Nuril yang dimaksud di sini adalah anti-diskriminasi. Ada dua alasan mengapa perkara ini sangat kuat berdimensi kepentingan negara.
Pertama, berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2018, kekerasan terhadap perempuan meningkat 14% dibandingkan tahun sebelumnya, menjadi 406.178 kasus, dari angka itu 3.915 adalah kekerasan terhadap perempuan di ranah publik, 64%-nya adalah kekerasan seksual.
Kedua, pemerintah sebenarnya sudah sejak 1984 (paling tidak secara legal formal ditunjukkan dengan meratifikasi CEDAW. (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) dengan komitmen untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan.
"Pertimbangan perlu diberikannya Amnesti terhadap Nuril merupakan langkah hukum-politik yang penting oleh Presiden untuk menguatkan kembali komitmen ini dan menunjukkannya secara luas kepada publik," kata Widodo menegaskan.