REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dipastikan akan terus diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meskipun Mahkamah Agung (MA) baru saja membebaskan mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad, yang sempat divonis bersalah dalam kasus tersebut.
Sikap KPK yang tetap melanjutkan mengusut kasus korupsi BLBI tergambar dari dipanggilnya mantan menteri BUMN Laksamana Sukardi untuk menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (10/7). Laksamana diperiksa untuk tersangka pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim.
Selain Laksamana Sukardi, penyidik juga menjadwalkan pemeriksaan terhadap mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Glenn Muhammad Surya Yusuf, mantan deputi kepala BPPN Farid Harianto, serta Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan, dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah.
"Kepada para saksi, tim mengonfirmasi pengetahuan dan peran saksi-saksi terkait dengan proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI sesuai kapasitas masing-masing," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu (10/7).
Terdakwa kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung usai menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (24/9).
Febri menuturkan, terhadap saksi Glen M Yusuf selaku mantan ketua BPPN, didalami rangkaian proses-proses mulai dari pengambilalihan pengelolaan BDNI dan tanggung jawab Sjamsul Nursalim dalam penyelesaian kewajibannya. Seperti permintaan agar Sjamsul Nursalim menambah aset untuk mengganti kerugian karena adanya misrepresentasi atas kredit petambak saat itu, termasuk adanya penolakan dari Sjamsul Nursalim dan informasi lain yang relevan.
Sementara untuk saksi Laksamana Sukardi, penyidik mendalami apa yang ia ketahui dalam posisi di Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) terkait dengan proses menuju penerbitan SKL terhadap Sjamsul Nursalim. Menurut Febri, pemeriksaan saksi-saksi ini untuk terus memperkuat bukti dugaan korupsi yang dilakukan Sjamsul dan Itjih yang menjadi tersangka dalam kasus ini.
Syafruddin Arsyad Temenggung resmi menghirup udara bebas pada Senin (9/7) malam setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasinya. Sebagian pihak menganggap putusan MA kali ini dapat menggugurkan penyidikan Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim yang merupakan pengembangan dari penyidikan perkara Syafruddin.
Meski begitu, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menegaskan, KPK tetap akan berupaya semaksimal mungkin sesuai dengan kewenangan yang dimiliki untuk mengembalikan dugaan kerugian keuangan negara Rp 4,58 triliun. Ihwal penanganan perkara dengan tersangka Sjamsul dan Itjih yang sedang berproses dalam tahap penyidikan pun akan tetap berjalan.
"Tindakan untuk memanggil saksi-saksi, tersangka, dan penelusuran aset akan menjadi concern KPK," ucap Saut.
BDNI sebagai penerima BLBI yang dikeluarkan selepas krisis moneter 1998 silam diduga melakukan misrepresentasi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp 4,8 triliun. Misrepresentasi tersebut diduga telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 4,58 triliun. Pasalnya, saat dilakukan financial due dilligence (FDD) dan legal due dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet dan hanya memiliki hak tagih sebesar Rp 220 miliar.
Kerugian negara dalam kasus itu, menurut KPK, dimungkinkan terjadi karena pejabat pemerintah saat itu, melalui Syafruddin sebagai kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) yang melepas kewajiban BDNI sebagai obligor BLBI. Sebelum dibebaskan oleh MA, Syafruddin Arsyad sempat dinyatakan bersalah oleh majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta pada 24 September 2018 yang menjatuhkan vonis 13 tahun penjara ditambah denda Rp 700 juta subsider 3 bulan kurungan.
Sementara pada 2 Januari 2019, Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat vonis Syafruddin menjadi pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda sebesar Rp 1 miliar dengan ketentuan bila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan. Namun, Syafruddin mengajukan kasasi ke MA. Majelis hakim MK kemudian menerima kasasi itu dan Syafruddin akhirnya lepas dari tahanan KPK pada Selasa (9/7) sekitar pukul 19.55 WIB
Syafruddin ditunjuk sebagai kepala BPPN oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Ia ditunjuk ketika tunggakan para obligor BLBI menjadi sorotan.
Akhir Desember 2002, Presiden Megawati mengeluarkan Inpres Nomor 8 Tahun 2002 yang kemudian digunakan pemerintah mengeluarkan jaminan kepastian hukum kepada para obligor BLBI. Inpres itu juga menjadi landasan pengeluaran SKL yang salah satunya diberikan pada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham BDNI.
Laksamana Sukardi enggan mengomentari materi pemeriksaannya setelah diperiksa sebagai saksi kasus BLBI. "Tidak, tidak banyak hanya konfirmasi beberapa, sebentar kurang dari satu jam, itu urusan penyidik," kata Sukardi seusai diperiksa.
Mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Laksamana Sukardi bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (26/7).
Saat dikonfirmasi apakah mengenal Sjamsul, Sukardi hanya mengatakan bahwa ia hanya mengetahui sosok Sjamsul. "Ya, kalau kenal semua orang kan kenal, tetapi tahulah," kata Sukardi.
Dalam pemeriksaannya itu, ia juga mengaku tidak menyerahkan dokumen apa pun kepada penyidik KPK. "Tidak, tidak ada karena sudah beberapa kali (diperiksa), cepat hari ini," ujar Sukardi. Laksamana sebelumnya pernah diperiksa dalam penyidikan kasus tersebut untuk Syafruddin Arsyad saat menjadi tersangka.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menyarankan KPK mengajukan peninjauan kembali (PK) terkait putusan kasasi MA. "Jadi, diharapkan KPK kalau dia serius mengusut kasus BLBI ini, dia harus berani mengajukan PK terkait putusan kasasi MA, nanti publik akan mencurigai jangan-jangan ini ada orang kuat di balik putusan itu," kata Nasir Djamil di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (10/7).
Terlebih lagi, kata Nasir, putusan MA itu dinilainya terlalu janggal. Pasalnya, Syafruddin yang divonis 15 tahun penjara divonis langsung bebas oleh MA karena perkara pidananya dianggap sebagai perkara perdata.
Nasir menyatakan, terkait putusan itu, DPR tidak bisa melakukan intervensi. Namun, DPR bisa melakukan evaluasi apakah putusan MA tersebut sudah mencerminkan keadilan. "Jadi, ini tantangan besar bagi KPK untuk mengusut kasus besar yang merugikan negara ini," ujar dia.