REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesti atau pengampunan hukuman dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk terpidana kasus pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Baiq Nuril, sudah di depan mata.
Salah satu kuasa hukum Baiq Nuril, Erasmus Napitulu, mengungkapkan, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly telah menandatangani surat rekomendasi pemberian amnesti yang ditujukan kepada Presiden Jokowi.
"Kemenkumham tadi pagi meminta tim kami datang ke sana juga untuk kemudian Bu Nuril bersama Menkumham menandatangani surat rekomendasi dari Menkumham terkait dengan pemberian amnesti kepada Ibu Nuril, untuk Presiden Jokowi," jelas Erasmus di Kantor Staf Presiden, Kamis (11/7).
Terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE), Baiq Nuril Maknun menyeka air mata saat menjawab pertanyaan wartawan pada Forum Legislasi bertema 'Baiq Nuril Ajukan Amnesti , DPR Setuju?' di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (10/7/2019)
Tim kuasa hukum Baiq Nuril meyakini bahwa terbitnya surat rekomendasi dari Menkumham makin menguatkan sinyal pemberian pengampunan. Meski begitu, jelas Erasmus, keputusan pemberian amnesti tetap berada di tangan Presiden Jokowi.
Ia berharap Kantor Staf Presiden (KSP) yang ditemuinya pagi ini bisa segera mendesak Presiden Jokowi untuk menerbitkan amnesti. "Dengan diterimanya dari menteri positif, tapi kita harus dengar dari Pak Presiden. Untuk itu kenapa kami datang ke KSP supaya kami bisa langsung disampaikan kepada Presiden. Tapi dari Kemenkumham sudah dikirimkan," kata Erasmus.
Desakan pemberian amnesti untuk Baiq Nuril yang menjadi korban perundungan seksual memang terus mengalir. Tim kuasa hukum menyebutkan, petisi yang ditandatangani di laman change.org saja sudah mencapai 246 ribu petisi.
Seluruh petisi tersebut sudah diserahkan kepada Kantor Staf Presiden untuk selanjutnya disampaikan kepada Jokowi.
"Sehingga dengan begitu kami berharap Presiden bisa cepat mempertimbangkan. Sehingga ini menjadi monumen penting bahwa korban kekerasan seksual di Indonesia tidak akan pernah berhenti untuk bersuara," katanya.
Pengajuan peninjauan kembali (PK) oleh Baiq sendiri sebelumnya ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). MA menilai alasan yang diajukan oleh pihak Baiq Nuril dalam mengajukan PK dinilai bukan sebagai landasan yang tepat, melainkan hanya mengulang fakta yang sudah dipertimbangkan pada putusan sebelumnya.
Ditolaknya PK ini memperkuat vonis di tingkat kasasi yang menghukum Baiq Nuril enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta subsidier tiga bulan kurungan.
Dalam kasus ini, Baiq Nuril mengaku mendapat pelecehan pada pertengahan 2012. Saat itu, Nuril masih berstatus sebagai pegawai honorer di SMAN 7 Mataram.