REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- DPRD Nusa Tenggara Barat (NTB) menyurati Kejari Mataram untuk meminta penangguhan eksekusi Baiq Nuril. Permohonan peninjauan kembali (PK) Baiq Nuril telah ditolak oleh Mahkamah Agung sehingga dia harus menjalani hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta atas pelanggaran pidana UU ITE.
"Kondisi yang bersangkutan (Baiq Nuril) tidak memungkinkan untuk di tahan. Sangat kasihan," kata Ketua DPRD NTB Hj Baiq Isvie Rupaedah di Mataram, Kamis (11/7).
Surat bernomor 180/488/DPRD.NTB/2019 ditanda tangani langsung Ketua DPRD NTB, Hj Baiq Isvie Rupaeda pada tanggal 10 Juli 2019. Adapun isi surat tersebut, menyampaikan setelah keluarnya putusan Mahkamah Agung RI nomor W25.UI/249/HK/01/1/2019, atas kasus pelanggaran pasal 27 ayat 1 juonto pasal 45 ayat 1 Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang ITE yang dilakukan oleh Baiq Nuril Maknun yang dijatuhkan hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta.
Sehubungan dengan hal tersebut, dengan pertimbangan kemanusiaan dan sosial, dan politik. Di mana putusan tersebut menjadi perhatian masyarakat Indonesia khususnya masyarakat NTB.
Maka selaku Ketua DPRD NTB mohon agar pelaksanaan eksekusi ditunda sampai menunggu upaya hukum yang sedang dilakukan. Isvie mengatakan, penangguhan itu diajukan sambil menunggu amnesti dari Presiden.
"Surat penangguhan ini sambil kita menunggu amnesti presiden," katannya.
Sebelumnya, MA menolak permohonan PK yang diajukan oleh terpidana kasus penyebaran rekaman asusila di Mataram, NTB Baiq Nuril. Juru bicara MA Andi Samsan Nganro menjelaskan, dengan ditolaknya permohonan PK tersebut maka putusan kasasi MA berupa hukuman enam bulan penjara atas Baiq Nuril dinyatakan tetap berlaku.
Andi menjelaskan pertimbangan mahkamah menyatakan dalil Baiq Nuril yang menyebutkan putusan kasasi MA (judex juris) mengandung muatan kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata tidak dapat dibenarkan. "Karena putusan judex juris tersebut sudah tepat dan benar dalam pertimbangan hukumnya," ujar Andi.
Dalam perkara tersebut, Baiq Nuril selaku pemohon PK dinyatakan bersalah karena merekam pembicaraan via telepon seluler antara Kepala SMAN 7 Mataram, berinisial M dengan Baiq Nuril, ketika M menelepon Nuril sekitar satu tahun yang lalu.
Rekaman tersebut kemudian disimpan Baiq Nuril dan diserahkan kepada Imam Mudawin selaku saksi dalam perkara ini. Imam kemudian memindahkan bukti rekaman tersebut dan disimpan secara digital di laptopnya hingga tersebar luas. Perkara ini diputus oleh majelis hakim PK yang diketuai Suhadi, dengan hakim anggota Margono dan Desnayeti.