Namanya adalah Margaret Kartomi. Ia sudah meneliti, mengumpulkan, juga menyebarkan temuan dan ilmunya soal alat-alat musik tradisional Indonesia selama 50 tahun di Monash University, Australia.
Perempuan kelahiran tahun 1940 di Adelaide, Australia Selatan ini adalah seorang ethnomusicologist, yang mempelajari peranan musik bagi masyarakat di lokasi tertentu. Ia juga mencari tahu proses pembuatan dan asal muasal alat-alat yang digunakan untuk membuat musik.
Kecintaannya dengan budaya Indonesia berawal ketika ia pertama kali berkeliling Pulau Jawa bersama orang tuanya saat ia berusia 19 tahun.
"Saya jatuh cinta dengan pulau-pulau yang hijau yang cantik ... [juga] orang Indonesia yang hangat," ujarnya kepada ABC Indonesia dengan bahasa Indonesia yang lancar.
Tapi jauh sebelum itu, Margaret memang sudah tertarik dengan Indonesia. Saat masih kecil kedua orangtuanya pernah mengundang mahasiswa Indonesia penerima beasiswa dari program Colombo Plan untuk makan siang ke rumahnya.
Kemudian sewaktu menjadi mahasiswi di University of Adelaide, ia mengaku jatuh hati dengan alunan suara gamelan Jawa, bahkan ia menulis thesis soal alat musik tersebut untuk syarat kelulusan S1-nya.
Margaret menceritakan kiprahnya ikut merawat alat musik tradisional Indonesia yang bisa Anda tonton disini.
Berdedikasi Untuk Sumatera
Setahun setelah kunjungannya ke Pulau Jawa, Margaret menikah dengan Hidris Kartomi asal Banyumas, yang juga salah satu mahasiswa Indonesia pertama yang mendapat beasiswa program Colombo Plan.
Bersama suaminya, ia berkeliling Pulau Jawa untuk melakukan penelitian soal budaya dan musik warga di desa-desa.
Tetapi Margaret mengaku jika saat itu ia malah menjadi penasaran dengan musik-musik di Pulau Sumatera.
Di Sumatera, lulusan Doktor dari Humboldt University di Berlin ini banyak menghabiskan waktunya untuk meneliti musik di Aceh selama 10 tahun berturut-turut yang membuatnya sangat berkesan.
"Di Aceh ada alat musik, tapi mereka lebih senang membuat suara dengan memukul badan," jelas Margaret.
"Orang-orang aneh sekali karena [musiknya] lain sekali, orang umumnya tahu Saman, tapi banyak sekali di Aceh yang mestinya juga dilestarikan."
Selama berada di Sumatera, ia tak hanya mencari tahu sejarah alat musik tradisional dan mencatatnya, tapi juga merekam suara-suaranya.
"Saya sudah menulis artikel dan menerbitkan buku-buku mengenai enam dari sepuluh provinsi di Sumatera," ujarnya yang baru saja menerbitkan buku soal Kepulauan Riau.
"Sebelum saya meninggal, saya mau menulis tiga lagi, Jambi, Bengkulu, dan Lampung."
Di tahun 2011, ia mendapatkan gelar kehormatan "Ratu Berlian Sangun Anggun" dari Gubernur Lampung saat itu, Sjachroeddin Zainal Pagaralam karena penelitiannya soal musik di provinsi tersebut.
Digul dan bundengan
Di tahun 1975, Margaret mendirikan Music Archieve of Monash University (MAMU), dari usahannya mengumpulkan instrumen, wayang, topeng, hingga tekstil dari penjuru Indonesia, termasuk dari negara-negara lainnya.
Hingga saat ini diperkirakan ada lebih dari 500 koleksi yang sudah ia kumpulkan, termasuk benda-benda kesenian ya didonasikan murid-murid dan warga Indonesia lainnya.
Ada pula ratusan rekaman dari suara-suara alat musik yang nyaris punah di Indonesia dan kini Margaret bersama timnya sedang berusaha untuk memindahkannya menjadi rekaman digital.
Berlokasi di kompleks Monash University di kawasan Clayton, Anda juga bisa menemukan koleksi gamelan Digul yang dipajang di salah satu gedung.
Nama alat musik ini diambil dari nama penjara dan pengasingan di Papua Barat yang didirikan pemerintah Hindia Belanda.
Di tempat inilah Pontjopangrawit, seorang musisi dan aktivis politik yang ditangkap pemerintah Hindia Belanda di tahun 1926, membuat gamelan dari rantang.
"Di tahun 1940-an gamelan ini dibawa ke Australia, negara yang menjadi tujuan suaka bagi pemerintah Belanda dan tahanan dari serangan Jepang," jelas Margaret yang menulis sejarahnya dalam buku 'The Gamelan Digul and the Prison Camp Musician Who Built It'.
"Di Melbourne dulu ada Roemah Indonesia yang menggelar pertunjukan gamelan mengiringi tarian sebagai bentuk simpati Australia pada perjuangan kemerdekaan Indonesia."
Alat musik lainnya adalah Bundengan, yang pertama kali dilihat Margaret saat berkunjnung ke Dieng, Jawa Tengah bersama suaminya.
"40 tahun lalu kami melihat ada penggembala bebek di jalanan yang sering main, kami heran, lalu membelinya dan membawanya ke Melbourne," kata Margaret.
Ia mengaku jika alat musik yang bisa juga dipakai tempat berteduh pada penggembala bebek dan petani saat hujan ini "hampir punah".
"Tapi ada mahasiswa saya yang menulis skripsinya dan karena ada minat jadi bupati Wonosobo memilih Bundengan sebagai musik asli kawasan itu dan jadi ikon sekarang."
"Terancam hilang"
Selama Margaret mengunjung Pulau Sumatera di kurun tahun 1960-an hingga 1980-an, ia mengaku tiap-tiap anak muda yang ia temui bisa bermain musik tradisional dan menari sesuai suku masing-masing.
"Sekarang ini upacara menjadi jarang, banyak anak muda yang pindah ke kota, terutama ke Jakarta dan Pulau Jawa," katanya.
"Kadang-kadang agak sedih, kampung-kampung hanya terdiri dari orang tua yang memang masih tahu soal tradisi, tapi orang muda tak tertarik lagi."
Margaret melihat sudah ada upaya untuk melestarikan alat musik tradisional oleh beberapa sekolah tinggi kesenian di Indonesia, tapi karena jumlah alat-alat musik yang mencapai ribuan dan tersebar di nusantara, ia berpendapat belum cukup banyak orang Indonesia yang menelitinya.
"Saya sudah berikan juga ke Perpustakaan Nasional di Jakarta, tetapi semestinya ada lebih banyak mahasiswa yang mau menulis soal ini."
Margaret yang kini juga membimbing sejumlah mahasiswa dari Indonesia berharap akan lebih banyak warga Indonesia yang mau lebih peduli soal kekayaan seni musik di negerinya sendiri. Karena jika tidak, ia mengatakan "akan terancam hilang".
Laporan dari komunitas warga Indonesia di Australia, serta informasi kerja dan studi di Australia bisa Anda dapatkan di situs ABC Indonesia.