Jumat 12 Jul 2019 13:15 WIB

Saudi Kembali Keluarkan Travel Warning ke Turki

Terdapat peningkatan jumlah kasus pencurian paspor warga Arab Saudi di Istanbul.

Rep: Puti Almas/ Red: Ani Nursalikah
Salah satu keindahan di sudut kota Istanbul, Turki. (ilustrasi)
Salah satu keindahan di sudut kota Istanbul, Turki. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Pemerintah Arab Saudi untuk kedua kalinya kembali memberikan anjuran perjalanan (travel warning) kepada warganya yang berencana melakukan perjalanan ke Turki. Hal ini semakin memicu spekulasi negara kerajaan itu mendorong boikot terhadap Turki. Kedua negara mengalami ketegangan setelah kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada tahun lalu.

Press TV melaporkan dalam sebuah pernyataan, Kedutaan Besar Arab Saudi di Ibu Kota Ankara, Turki mengeluarkan peringatan agar warga yang ingin berkunjung ke sana berhati-hati dan selalu melindungi barang-barang bawaan mereka. Salah satu alasan utama peringatan ini adalah karena adanya peningkatan jumlah kasus pencurian paspor warga Arab Saudi di Istanbul.

Baca Juga

Pekan lalu, peringatan serupa telah dikeluarkan oleh kedutaan. Dalam sebuah klaim, disebutkan terdapat sejumlah kelompok atau geng kriminal di Turki yang menargetkan turis asal Arab Saudi. Mereka dilaporkan mencuri setidaknya 165 paspor para wisatawan dari negara Timur Tengah tersebut yang sedang berada di salah satu lokasi populer di Istanbul.

"Pencurian dan pencopetan tidak terbatas pada wisatawan Saudi, tetapi kami telah mendengar kasus serupa diantara para wisatawan Arab Saudi,” ujar pernyataan dari perwakilan Konsulat Arab Saudi di Istanbul, Meshary Al-Thyaby dikutip Asharq al-Awsat, Jumat (12/7).

Setiap tahun, ratusan ribu warga Arab Saudi datang ke Turki untuk berwisata. Dalam sebuah studi pada 2018 oleh Pusat Penelitian dan Studi Islam King Faisal di Riyadh, para turis dapat menghabiskan biaya hingga 500 dolar AS sepanjang liburan di negara Asia-Eropa tersebut.

Travel warning yang dikeluarkan Arab Saudi dinilai datang saat hubungan negara itu dan Turki yang saat ini berada dalam posisi terendah. Kasus pembunuhan Khashoggi di konsulat Arab Saudi di Istanbul pada Oktober 2018 menjadi pemicu utama.

Pemerintah Turki adalah pihak pertama yang melaporkan dugaan pembunuhan terhadap Khashoggi. Pihak berwenang negara itu terus mendesak Arab Saudi untuk mendapatkan informasi atas keberadaan jenazah Khashoggi, yang diyakini telah dibunuh dan dimutilasi di dalam kantor konsulat negara itu di Istanbul.

Selama beberapa bulan terakhir, beberapa media Arab Saudi menerbitkan artikel dengan judul seperti "Don’t go to Turkey" (Jangan pergi ke Turki) dan "Turkey is not safe" (Turki tidak aman). Bahkan, hal ini juga secara aktif didorong oleh pengguna media sosial untuk menghindari negara itu sebagai tujuan wisata

Beberapa nasionalis Saudi bahkan menyerukan boikot produk-produk Turki setelah sebuah video tentang pembunuhan Khashoggi kembali muncul beberapa waktu lalu. Video tersebut memperlihatkan Gubernur Riyadh Faisal bin Bandar yang menolak tawaran meminum kopi dari Turki.

Tak hanya itu, ketua Kamar Dagang dan Industri Riyadh, Ajlan al-Ajlan juga bertindak keras. Ia mengatakan kedua negara yang bermusuhan akan memicu boikot Arab Saudi terhadap Turki di berbagai bidang.

“Ketika Pemerintah Turki melanjutkan permusuhan dan menargetkan kerajaan (Arab Saudi), maka kami menyerukan untuk lebih membikot mereka di semua bidang, seperti impor, tenaga kerja, dan  transaksi dengan perusahaan-perusahaan Turki," ujar Ajlan melalui jejaring sosial Twitter bulan lalu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement