Rabu 23 Jan 2019 06:36 WIB

Ke Langit Bersama Azan Maghrib

Tepat ketika azan Maghrib mengalun, napas Wak Kadir berhenti, sunyi.

Ke Langit Bersama Azan Maghrib
Foto: Rendra Purnama/ Republika
Ke Langit Bersama Azan Maghrib

REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Griven H Putera

Wak Kadir, lelaki yang sudah berambut salju itu, masih mengayuh becaknya di tengah terik matahari berdentang. Sudah tiga kali ia bolak-balik dari terminal ke Kampung Purnama, dari terminal ke Perumahan Dock, dari terminal ke Bukit Datuk, sejak tadi pagi. Handuk bacinnya sudah semakin bau dan kuyup karena mengelap keringatnya yang mengalir tiada henti. Semakin lama air yang tergenang di tubuhnya semakin banyak saja yang tumpah. Seolah-olah dari tubuhnya menganga sumur yang tak pernah kering.

Topi pandan Wak Kadir sudah mulai teleng. Walaupun menjalankan puasa di hari keenam di bulan Syawal ini, ia masih semangat. Minimal, bersemangat-semangatlah. Di usia kepala enam ini, selain semangat, apalagi yang ia punya?

Tenaga? Tenaga seperti apa yang diharapkan dari usia yang sudah mulai dijilat senja?

Kini jam di tangannya sudah menunjukkan pukul 15.37 petang Waktu Indonesia Bagian Barat. Ia masih menunggu pelanggan. Wak Kadir masih memerlukan uang untuk membawa istrinya berobat ke dokter nanti malam.

"Bisa ke Bukit Timah, Pak?" tawar seorang penumpang lelaki berkacamata hitam, berumur kira-kira empat puluhan sambil membawa tas besar dan kantong plastik hitam. Kadir terdiam sejenak. Ke Bukit Timah?

Pikirnya. Dari terminal ke Bukit Timah bukannya dekat. Ia coba mengira-ngira apakah tenaganya masih cukup dan sanggup mendayung becak sejauh itu. Kadir menghela napas berat. Bukit Timah, Bukit Timah, ejanya dalam hati sambil terus berpikir di tengah ragu. "Bisa, Pak?"

Wak Kadir terkejut mendengar pertanyaan lelaki berkacamata hitam itu. Pertanyaan dengan suara agak keras itu membuyarkan lamunannya. Kelebat bayangan istrinya muncul. Perempuan yang amat dicintainya itu terbaring di rumahnya. Batuk menahun membuat intan pilihannya itu terkulai lemah tak berdaya, badannya tinggal kulit pembalut tulang.

Wak Kadir masih berpikir. Apa aku sanggup atau tidak ya? Tanyanya dalam hati tak sudah-sudah. Bagaimana, Pak? Bisa? tanya lelaki dari kota besar itu tampak sangat tak sabar. Bisa, kata Wak Kadir menjawab ragu. Ya. Sudah tak mungkin menunggu lama untuk membawa perempuan setia kepadanya itu ke dokter spesialis. Mak Leha harus segera dibawa berobat. Penyakit paru-parunya kian parah. Dahaknya sudah mulai merah.

Nanti malam seusai Maghrib harus pergi. Harus ke dokter paru. Pikir Wak Kadir. Dirasanya uang dari sewa terakhir ini akan membuat pelengkap hasil sewa yang ditabungnya sejak Ramadhan kemarin.

Bagaimana, Pak? "Sila naik." Sila naik, Pak, kata Wak Kadir lagi, tersenyum ragu mempersilahkan si penumpang naik ke becaknya. Dengan membaca Bismillah, Wak Kadir mulai mendayung sepeda kesayangannya.

Pikirannya mulai disungkup bayangan Mak Leha di rumah. Perempuan yang setia bersamanya sejak seperempat abad lalu itu belum ditemuinya sejak ia berangkat tadi pagi. Nasi dan lauk ala kadarnya memang sudah dimasakkannya. Obat dari puskesmas pun sudah diletakkannya di samping tudung saji. Tapi apakah Leha bisa duduk dan makan sendiri seperti semalam?

Tadi perempuan itu belum jaga ketika ia berangkat dari rumah. Ia tak sedap hati membangunkannya karena semalaman tak dapat tidur nyenyak tersebab batuk. Setelah ia kecup kening perempuan itu dengan lembut dan hati-hati, ia pun tancap kerja. Mendayung becaknya keliling kota. "Hati-hati, Pak. Hampir saja masuk parit. Bapak ini bagaimana sih?"

"Maaf, Pak. Maaf, Pak," kata Wak Kadir pada penumpangnya yang sebal dengan rasa bersalah. "Kalau begini, cukup sekali ini saja saya menumpang di becak Bapak ini," kata sang penumpang dengan wajah amat masam. "Maafkan saya, Pak," kata Wak Kadir sekali lagi.

sumber : Pusat Data Republika
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement