REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Irwan Kelana
Pesawat Citilink yang aku naiki bersama dengan anakku, Khalid, mendarat mulus di Bandara Lombok Praya. Aku melirik jam tangan. Pukul 09.05 Waktu Indonesia Tengah (WITA). Pesawat tiba tepat waktu.
Pesawat berangkat dari Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta pukul 05.45. Ada perbedaan waktu satu jam.
Inilah untuk pertama kalinya dalam setahun ini aku keluar kota. Sejak istriku, Rindu Ramadhan, meninggal setahun lalu, tepat pada malam Nuzulul Quran 17 Ramadhan, aku tak pernah mau menerima undangan ceramah ke luar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Aku pun hanya menerima undangan ceramah siang hari.
Aku tak ingin meninggalkan Khalid, anakku satu-satunya yang baru berusia lima tahun, sendirian di rumah pada malam hari. Ia baru saja kehilangan ibu yang dicintainya, seorang Muslimah yang salehah, adik kelasku di Al Azhar.
Kalau pada akhirnya aku memutuskan mau datang ke Lombok karena info dari Mansur, wartawan Republika yang juga sama-sama aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Aku di Komisi Fatwa, sedangkan Mansur di Komisi Budaya bersama dengan sastrawan yang juga sama-sama alumnus Al Azhar, Mesir. Seperti Kang Abik, panggilan akrab Habiburrah man El Shirazy, Mansur juga alumnus Al Azhar yang memilih sastra sebagai medan dakwah.
"Kang, Tuan Guru yang meminta Akang untuk mengisi ceramah Ramadhan di Masjid Hubbul Wathan, Islamic Center NTB, Mataram." Ini merupakan rangkaian acara Pesona Khazanah Ramadhan 1438 yang diadakan sebulan penuh. Event yang baru pertama kali diadakan di NTB, bahkan di Indonesia ini merupakan kerja sama Pemda NTB dengan Harian Republika.
Pemda NTB mengundang empat iman besar dari Suriah, Lebanon, Maroko, dan Mesir. Masing-masing bertugas selama satu pekan. Kegiatan keempat imam besar ini yaitu mengimami shalat serta memimpin tadarus dan doa pada malam Ramadhan.
Juga memberikan kuliah Ramadhan bakda shalat Zhuhur. Selain itu, Pemprov NTB juga mengadakan sebanyak 28 kegiatan lainnya seperti festival kuliner, pameran buku, ekonomi kreatif, diskusi panel Rembuk Republik, meet and greet dengan penulis, hijab tutorial, serta ceramah Ramadhan, ceramah Zhuhur, ceramah Nuzulul Quran, dan tausiyah zikir.
"Tuan Guru ingin sekali Kang Fajar mengisi ceramah Ramadhan yang diadakan bakda shalat Isya, menjelang shalat Tarawih," kata Mansur saat menemui aku pekan lalu di kantor MUI.
Tuan Guru yang dimaksudkan oleh Mansur adalah Tuan Guru Bajang (TGB), gubernur NTB saat ini. Nama aslinya adalah Tuan Guru Haji (TGH) Muhammad Zainul Majdi.
Ia boleh dikatakan satu-satunya gubernur yang merupakan doktor tafsir lulusan Al Azhar, hafiz Alquran. Aku adik kelasnya tujuh tahun di Al Azhar. Namun, aku masih sempat beberapa kali bertemu dengannya.
Hal yang paling mengesankan, dan juga menjadi sumber inspirasi bagi banyak mahasiswa Indonesia di Mesir, adalah ketika Zainul Majdi berhasil menyelesaikan disertasi dan ujian doktoralnya di Al Azhar di tengah kesibukannya yang luar biasa sebagai gubernur NTB.
Sempat aku dengar informasi, Zainul Majdi menyelesaikan disertasinya itu selama dua tahun, 2009-2011. Tiap malam ia mengerjakan disertai tersebut dari pukul satu malam sampai menjelang Subuh. Luar biasa.
Aku menyusul diwisuda sebagai doktor tafsir tiga tahun kemudian. "Baiklah," kataku kepada Mansur, "Tapi aku ambil yang hari Sabtu malam Ahad. Pulang hari Senin pagi. Tapi aku mengajak Khalid, boleh?"
"Siap, Kang. Tuan Guru pasti senang. Kalau Akang pulang Senin pagi, Akang bisa ceramah Ramadhan pada malam Ahad dan kuliah Zhuhur pada hari Ahad. Ajak Khalid, Kang. Semoga perjalanan ini jadi obat bagi hatinya," kata Mansur.