REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Syahirul Alim Ritonga
Pandangannya sedikit berputar-putar. Jalanan yang biasanya tampak lurus, kini terlihat berkelok-kelok. Membuat motor yang ia kendarai bergerak ke kiri dan ke kanan tanpa ada sebab. Tampaknya dua botol minuman keras tadi masih mempengaruhi kesadaran Kardi.
“Sialan,” umpatnya. Saat merasakan kandung kemihnya bergejolak meminta hajatnya. Dia menggerutu menyumpahi diri sendiri yang terlalu banyak minum. Malam itu ia memang berhasil menang dalam permainan kartu, sehingga bisa minum sepuasnya.
Kardi merapatkan kakinya menahan hajat. Malam-malam begini hendak di mana dia menumpang tandas. Apalagi di kiri dan kanan hanya terlihat hutan dan semak belukar. Nekat buang hajat sembarangan bisa-bisa diganggu penunggu hutan, pikirnya takut.
Kandung kemihnya kembali berkontraksi, seolah memberontak tidak hendak menunggu. Memang rumahnya masih cukup jauh dari hutan ini. Sengaja dia memilih warung remang-remang di kampung seberang untuk malam ini, karena khawatir dipergoki istrinya seperti bulan lalu.
Sengaja benar ia keluar rumah dengan memakai kemeja lengan panjang dan bercelana bahan hitam. Ia berpakaian rapi agar tidak dicurigai istrinya. “Ada urusan bisnis sebentar,” kelitnya kepada istri sebelum berangkat.
Di tengah kebingungan, apakah akan membuang hajat di tengah hutan atau menahan hingga tiba di rumah dengan risiko ‘bocor’ di jalan, ia melihat sebuah mushalla di ujung hutan. Tanpa pikir panjang, langsung ia kebut motornya menuju mushalla tersebut.
Mushalla itu tidak terlalu besar dan tidak berpagar, sehingga ia bisa bebas masuk dan menggunakan toiletnya. Rasanya lega, dan tidak bisa digambarkan oleh kata-kata saat ia bisa menyalurkan hajatnya. Di saat ia sudah selesai dan keluar dari toilet, ia teringat untuk membasuh wajah terlebih dahulu agar efek mabuknya hilang. Grrr… rasa air dingin menyentuh kulit wajah pada dini hari benar-benar membuat matanya kembali melek.
“Assalamualaikum, Ustaz!”
Kardi melonjak kaget, seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Bulu kuduknya merinding. Hampir-hampir saja jantungnya copot ketakutan karena membayangkan itu adalah jin penunggu mushalla. Sebelum kemudian dia membalikkan badan dan sosok di balik pundaknya jelas terlihat. Tampak dua orang pemuda dengan memakai sarung, baju takwa, dan berkopiah.
“Afwan Ustadz, saya malah membuat kaget,” ucap pemuda yang pertama sambil tersenyum.
“Wa..wa..waalaikum salam,” ucapnya sambil terbata-bata.
“Ustaz orang baru di sini? Sepertinya baru lihat,” tanya pemuda yang kedua. Kardi hanya bisa mengangguk lemah sembari mencoba tersenyum. Sayangnya ia lebih terlihat seperti orang meringis daripada tersenyum. “Ya sudah! Sampeyan tunggu di dalam saja Mas. Azan kira-kira lima belas menit lagi.”
Karena merasa tidak enak dengan kedua pemuda itu, Kardi menurut dan masuk ke dalam mushalla. Rasa-rasanya sudah bertahun-tahun lamanya sejak terakhir kali ia masuk ke dalam mushalla.
Dahulu, orang-orang di kampungnya selalu menggerutu setiap dia datang ke mushalla. Terkadang dia bahkan mendengar bisikan-bisikan sinis yang mengatakan, ‘wong mabuk kok shalat’ atau kalimat ‘memang shalatnya diterima?’. Perkataan itu semakin lama membuat ia risih. Maka akhirnya ia putuskan, daripada membuat orang lain terganggu, lebih baik tidak pernah datang sekalian.
“Wah kebetulan ada ustaz baru, Min,” ucap pemuda pertama kepada temannya sembari mengibas-ngibaskan air wudhu yang membasahi tangannya. “Iya, Jo, kebetulan banget. Mas, sampeyan yang jadi imam Subuh nanti ya! Pak Haji yang biasa menjadi imam shalat lagi sakit. Punggungnya kambuh lagi.”
Ditodong seperti itu, tentu saja membuatnya terkejut. Dia sudah lama tidak shalat, bahkan dia sudah lupa bacaan shalat. “Bisa malu mampus aku kalau menjadi imam”, batinnya dalam hati. Segera dia menggelengkan kepala sembari menyatakan penolakannya.
“Ayolah, Mas, kami semua ndak ada yang pede jadi imam. Bacaan kami terbata-bata. Bisa malu kami kalau jadi imam.”
Ingin rasanya ia juga mengakui kalau ia jauh lebih buruk dari mereka. Jika mereka terbata-bata, maka ia bahkan sudah lupa urutan rangkaian shalat. Tapi entah kenapa untuk mengakuinya ia merasa malu dan takut diusir dari masjid ini.
“Tadinya kami pikir bakalan ndak ada yang gantiin Pak Haji. Saya kagum dengan sampeyan, jadi yang paling pertama datang ke masjid di pagi hari. Pertahankan terus Mas,” pemuda pertama yang dipanggil Jo itu menepuk-nepuk pundaknya. Kardi hanya bisa membalas dengan senyum.
Sebenarnya kalau dikatakan ia tidak pernah shalat, tidak juga. Dahulu semasa kecil, ia termasuk anak yang pintar saat belajar mengaji. Bahkan ia pernah mondok selama tiga tahun di sebuah pesantren. Namun sayang, kematian ibunya membuat ia berhenti mondok dan pulang ke kampung. Setelah kembali ke kampunglah pergaulan mengenalkannya dengan alkohol, hingga saat ini.
Memang pernah dahulu saat baru menikah, ia berniat untuk berubah karena rasa cinta kepada istrinya. Namun gunjingan yang didengarnya setiap kali ia ke mushalla membuat ia risih. Ia merasa tidak diinginkan di masyarakat. Ia sudah terlanjur dicap sebagai tukang mabuk dan tukang judi. Sementara di warung remang-remang, ia menemukan orang-orang yang menghargai dan mau mendengarkan keluh kesahnya. Di situ ia merasa menemukan keluarga.
“Kalian santri?” akhirnya ia mengeluarkan sebuah kalimat.
“Iya, Mas, tapi baru masuk jadi ilmunya masih sedikit. Sekarang lagi balik kampung. Mumpung pondok lagi libur,” jelas pemuda yang dipanggil Min.
Mendengar itu, ia teringat masa-masa ia masih semangat belajar ilmu agama. Saat dahulu masih di pondok ia juga sering seperti ini. Datang ke masjid sebelum azan berkumandang. Bercengkrama dengan santri lain selepas zikir malam. Hingga terpekur takzim saat muazzin mulai mengumandangkan panggilannya.
Perlahan, air matanya mengalir. Ia teringat, setelah dewasa ia justru lebih banyak menghabiskan waktu di warung remang-remang sambil menunggu pagi datang. Ketakziman menunggu azan ia tukar dengan kenikmatan adrenalin saat membuka kartu bersama teman-temannya. Ia malu, entah kepada siapa.
Beberapa orang ja maah datang menjelang azan shubuh. Kardi menyalami mereka sembari memperkenalkan namanya.
“Wah, tadinya kami pikir shalat Shubuhnya ndak jadi karena Pak Haji sakit. Untung ada Mas Kardi,” tukas salah seorang jamaah. Kardi tersenyum, namun di dalam hatinya, ucapan bapak tadi semakin membuatnya tidak enak hati untuk menolak menjadi imam. Bagaimana nanti tanggapan orang-orang ini kalau dia mengaku sebagai orang yang baru saja pulang berjudi dan mabuk di warung remang-remang ujung hutan.
Paijo berdiri, bersiap-siap untuk mengumandangkan azan. Semua orang terdiam saat Paijo mulai melantunkan panggilan suci itu. Kata demi kata yang diucapkan Paijo, dijawab dengan takzim dalam setiap hati para jama’ah seperti tuntunan baginda Rasul.
Namun tidak ada yang menyadari bahwa Kardi terlihat semakin gelisah. Keringat dingin membasahi keningnya. Pikirannya tidak lagi fokus pada lantunan azan. Matanya terpejam sementara bibirnya bergerak mencoba mengingat urutan shalat dan bacaan-bacaan yang pernah dihafalnya dahulu. Ia baru tersadar saat Paimin menepuk pundaknya. “Monggo Mas!” ucapnya sembari mengarahkan jempolnya ke arah tempat imam.
Kardi melangkah dengan lemas. Jikalau ada yang memperhatikan, lututnya bergetar dibalik celana hitamnya. Sementara jama’ah segera merapikan barisan mereka. Kardi menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya, berharap dia tidak lupa di tengah jalan. Saat dia hendak mengangkat tangan, saat itu pulalah terdengar suara langkah kaki dan suara orang tua terbatuk-batuk. Kardi menoleh ke belakang, diikuti oleh para jama’ah.
“Alhamdulillah, tadinya saya khawatir ndak ada yang jadi imam shalat,” lelaki tua itu terkekeh-kekeh. Dari penampilannya, Kardi menduga bahwa itu pasti Pak Haji yang biasa menjadi imam shalat.
“Pak Haji? Monggo, Pak, bapak saja yang imam,” Kardi senang bukan kepalang dapat terhindar dari tugas menjadi imam ini. Para jama’ah juga tidak ada yang menolak ketika Kardi mundur dan Pak Haji mengambil alih tempatnya.
Pagi itu menjadi shubuhnya yang pertama setelah bertahun-tahun lamanya. Andai mereka menyadari, para malaikat rahmat tengah mengelilingi mushalla kecil itu untuk berdoa agar Allah mengampuni orang-orang di dalamnya. Ketenangan perlahan menyusup ke dalam hati Kardi.
Seusai shalat, para jama’ah saling bersalaman. Paijo dan Paimin mencium tangannya saat bersalaman, Kardi teringat bahwa tangan itu penuh dosa yang ia gunakan untuk mengangkat kartu dan menuang tuak. Kemudian Kardi menyalam Pak Haji.
“Semoga Allah memberkahimu, Nak! Tinggalkanlah minuman keras dan judi itu. Kau akan diterima di sini.” Kardi terkejut mendengar bisikan Pak Haji itu. Namun ia tak ingin bertanya dari mana Pak Haji mengetahui kebiasaan buruknya. Ia setuju dengan orang tua itu. Besok ia akan kembali kesini, untuk kembali duduk takzim menunggu pagi.
TENTANG PENULIS
Syahirul Alim Ritonga merupakan anggota FLP Yogyakarta dan merangkap menjadi mahasiswa Tekhnik Mesin UGM.