REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Amir Syam
Ia terlahir ke dunia ini dengan nama Aji. Ya, panggil saja Aji. Pria yang satu ini benar-benar senang berhitung. Ia akan menghitung apa saja yang ditangkap oleh matanya, direkam oleh telinganya, dan dikecap oleh hatinya. Misal, mengkalkulasi tapak kakinya ke sekolah, lalu mencacah burung dissermurus paradiseus yang meliuk-liuk di langit cerah, menganalisa sebaran awan putih yang terkatung-katung di langit biru, meramal peluang hujan, membilang banyaknya dedaunan yang gugur persatuan waktu, dan entah apa lagi.
Semua itu akan ia hitung sebisa mungkin. Pria dengan binar mata yang selalu liar dan tajam menerobos apa saja itu kerap berhitung dengan mulut kadang terkunci, komat-kamit, atau kombinasi keduanya.
Kebiasaannya ini diakari rasa cintanya pada ilmu hitung yang bergejolak sejak kecil. Hati dan pikirannya telah tertambat kuat pada hal yang kadang tak disukai teman-temannya.
“Berapa lama waktu tempuhmu hari ini?” tanya Badrun saat Aji memasuki ruang kelas yang masih sepi. Pagi itu, Badrun belum lama tiba bersama Indra.
“Dua belas menit lebih lima belas detik,” sahut Aji mantap seraya melirik arloji hitam di tangan kirinya. Tanpa membuang tempo, ia kemudian menghitung banyaknya petak-petak lantai berbentuk persegi 30x30 cm yang ditapakinya.
“Hei, Aji! Bisakah kau sehari saja tidak berlaku aneh seperti itu?” pekik Indra. Suaranya memecah keheningan kelas pagi itu. Lengang patah. Damai pagi ternodai.
“Aku tak peduli dengan kata-katamu! Berhentilah mengurusi kelakuanku!” Aji mengaum geram. Badrun kaget. Terperanjat. Indra tersudut.
Aji sudah akrab betul dengan kata-kata Indra itu. Sejurus, ia menyapu Indra dengan pandangan tajam. Sesuatu bergetar di dasar dadanya. Mula-mula getarannya lemah. Tapi makin lama getaran itu kian mendesir-desir dalam darahnya.
Kesiur angin pagi berhembus seolah ingin melumuri kalbu yang sesak. Sesaat senyap pun hadir. Mereka berada pada pikirannya masing-masing. Badrun terpaku. Indra membisu. Aji mengurai detik yang luruh.