REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Eti Nur Halimah
Petang mulai merembang, matahari meredup kembali ke peraduan. Dengan tergesa-gesa Amira menuju mesin penggesek kartu perjalanan. Langkahnya kian dipercepat, karena tak ingin tertinggal kereta jurusan Changhua, tempatnya bekerja.
"Amira, tunggu! Kamu gak ikutan makan bersama dengan teman-teman?" tanya Lily, sembari menjejeri Amira.
"Aku harus cepat-cepat pulang, Li. Takut kita terlambat sampai rumah," jawab Amira dengan tetap berjalan cepat.
"OK deh. Kalau begitu, hati-hati ya!" ucap Lily melambai tangan.
Sepanjang perjalanan di dalam kereta, Amira memejamkan mata. Beristirahat sejenak. Karena ia tahu, setumpuk pekerjaan telah menantinya di rumah. Meskipun, majikan memotong gajinya saat berlibur, tetapi ia harus bekerja sebelum kepalanya merebah di atas bantal.
Perlahan Amira menekan bel rumah nomor 69, rumah besar dan tingkat bak villa daerah pegunungan. Tak berapa lama, muncullah seorang wanita paruh baya dengan rambut ikal diikat kuda. Tampak menyembul sederet uban putih di bagian atasnya. Dialah Nyonya Fang, majikan Amira. Wanita tegas yang tak segan mengomeli dia seharian jika melakukan kesalahan dalam bekerja.
"Kamu tahu ini jam berapa? Kenapa pulang telat?" pertanyaan itu meluncur dari mulut Nyonya Fang.
"Maaf Nyonya, tadi saya tertinggal kereta sehingga harus menanti kereta berikutnya," jawab Amira terbata.
"Lihat itu! Nanai belum mandi, bekas makan malam juga belum dibereskan. Buruan sana dikerjakan!" ucap Nyonya Fang, sambil jemarinya menunjuk ke arah yang berantakan.
Tanpa panjang lebar, Amira bergegas menuju dapur. Gadis beramput sebahu dengan perawakan tinggi tersebut tertegun, melihat suasana yang berantakan. Piring-piring menumpuk di tempat cucian, botol bir dan gelas berserakan di atas meja. Ditambah aroma rokok yang menyengat, hingga membuat perutnya mual.
Amira melangkah ke arah kamar di dekat ruang makan. Seorang wanita tua tergeletak tak berdaya. Dialah Nanai, mertua Nyonya Fang. Wanita tua berumur 92 tahun ini telah Amira rawat selama lima tahun. Di awal kedatangan Amira, kondisi Nanai masih sehat dan bisa berjalan meski menggunakan tongkat.
Namun, setahun belakangan ini, kondisi Nanai kian melemah, seiring usianya yang bertambah. "Nanai, ganti diapers dulu ya? Pasti tidak nyaman, seharian tidak ganti," bisik Amira.
Nyonya Fang tidak mau perduli dengan keadaan Nanai. Baginya, mengurusi orang tua tersebut sesuatu yang menjijikkan. Mulai dari memandikan, mengganti diaper, dan menyiapkan segala sesuatunya. Semuanya adalah tugas Amira.
Pukul 01.00 dini hari semua pekerjaan baru selesai. Cacing di perut Amira meraung kelaparan, setelah semua tenaga terkuras habis untuk membereskan rumah yang tampak seperti ditinggal satu bulan oleh penghuninya. Setelah mandi dengan air hangat, Amira menyeduh mi gelas, sebelum ia beranjak ke tempat tidur.
Alarm ponsel membangunkan Amira dari lelap tidurnya. Seakan baru saja ia memejamkan mata dan bergelayut pada akar mimpi yang indah. Namun, kini harus dihadapkan kembali pada setumpuk pekerjaan yang telah menanti. Meski dengan rasa malas, Amira tetap memaksakan diri untuk meninggalkan kasur tipis tempatnya menggelung diri setiap malam.
Gadis itu memiliki cita-cita besar ketika kelak ia pulang ke Tanah Air. Amira ingin membuka usaha dan membahagiakan ibunya. Agar tidak lagi dihina. Itulah sebabnya ia masih bertahan di rumah ini.
Secara diam-diam, Amira menggunakan waktu liburnya untuk melanjutkan pendidikan, di sebuah Universitas Terbuka di Taiwan. Agar kelak ia pulang tidak hanya membawa uang, tetapi juga ilmu.
"Selamat pagi, Nyonya," sapa Amira dengan membawakan semangkuk oat meal, sebagai menu sarapan sang majikan.
"Pagi..." jawab Nyonya Fang, "Mia, jangan lupa nanti memberi Nanai obat ramuan Cina yang dibeli tuan kemarin agar tensi darahnya bisa stabil."
"Baik, Nyonya."
Setelah menyuguhkan sarapan dan menyiapkan sepatu serta berkas-berkas kerja majikannya, Amira pun bergegas ke belakang. Kali ini ia harus membersihkan kamar majikan sekaligus mencuci pakaian yang ada di keranjang pakaian kotor.
Rutinitasnya dari pagi hingga menjelang istirahat sangat padat. Ia hanya memiliki waktu istirahat satu jam dan itu ia pergunakan sebaik mungkin. Karena, malamnya secara diam-diam, ia harus belajar dan menyimak pelajaran via online.
Sepuluh panggilan tak terjawab terpampang di handphone Amira, yang ia tinggal di kamar. Saat jam kerja gadis itu memang tidak membawa gawai. Ia takut, pekerjaannya tidak dapat selesai, lantaran sibuk berselancar di dunia maya atau ber-chatting dengan teman-teman belaka.
Ini kan nomornya Pakde Narto, ada apa gerangan hingga menghubunginya beberapa kali, gumamnya dalam hati. Diraihnya gadget putih bermerek Samsung, dengan cepat ia tekan tombol telepon yang berwarna hijau. Namun, operator yang menjawab.
Hhhh... ada apa gerangan? Tidak biasanya orang di rumah menghubungiku jika tidak karena sesuatu yang sangat penting, Greeekkkk .... Getar handphone nada SMS masuk. Nduk, telepon sekarang! SMS dari Pakde Narto.
Tanpa menunggu lama, Amira menelpon nomor yang baru saya mengirimkan SMS padanya.
"Halo, Pakde. Ada apa tadi telepon berkali-kali?" tanya Amira tidak sabar.
"Anu ...anu... adikmu, Nduk. Gunadi ...," jawab paman Amira, terbata-bata.
"Iya. Ada apa dengan Gunadi, Pakde?"
"Adikmu kecelakaan, Nduk. Saat ini sedang dirawat di rumah sakit."
Plashh ... Bagaikan disambar petir di siang hari. Degub jantung Amira seakan berhenti. Sejuta pertanyaan meghantui di dalam hatinya. Bagaimana keadaan Gunadi? Adik satu-satunya yang ia punya. Bagaimana dengan ibunya? Pasti beliau sangat rapuh dan terpukul.
Amira tahu persis, bagaimana ibunya tidak tidur jika salah satu anaknya ada yang sakit. Ibu sangat trauma, pascabapak meninggal mendadak lantaran serangan jantung. Sejak itu, ibu paling tidak bisa melihat orang sakit.