REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Krismarliyanti
Cinta tidak selalu tentang kebersamaan. Tetapi cinta adalah melepaskan kenangan dalam diam. Lalu mengukir rasa dalam doa.
Air mata terus mengalir seperti hujan di luar sana. Aku kecewa ketika menyadari perasaan ini tersimpan lama dan berbalas. Meskipun balasan yang terungkap sangat terlambat. Kututup telepon dan kucoba menahan sedihku. Kulangkahkan kakiku ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan air mataku. Aku tidak mau teman kerja mempertanyakan keadaanku atau curiga dengan air mataku.
Kilatan halilintar saling bergantian. Suara guntur terus bergemuruh. Awan hitam semakin pekat. Bergulung dan bergerak. Hatiku hancur dan tersayat. Tiba-tiba HP-ku bergetar. SMS.
Kamu tidak pernah tahu Airin, aku berusaha keras untuk mutasi ke kota ini. Hanya untuk bisa berdekatan denganmu. Walaupun terlambat, izinkan aku mengatakan cinta ini untukmu. Tolong simpan di hatimu semua kenangan kita.
Sebuah pesan singkat yang semakin membuat air mataku deras. Rentetan kalimat yang menghentakkan bawah sadarku bahwa aku hanya mencintai dia. Dan perasaanku terhadap Mas Hemi hanya rasa hormat terhadap semua kebaikannya. Selain itu, aku tidak mau membuat ibu dan bapak kecewa.
Tanpa rasa bersalah sedikit pun, Ardi masih berani mengunjungi kami walaupun sudah jelas aku meminta dia pergi dan tidak mengganggu kami. Tetapi dengan alasan silaturahim, dia masih saja bertandang sesekali ke rumah ibu.
Untuk menghindari kecurigaan suami dan orang tuaku, aku berusaha bersikap normal ketika Ardi masih saja berkunjung ke rumah ibu. Ibu pun sangat senang menerima kehadirannya, “Ardi itu sudah ibu anggap anak ibu sendiri. Lagi pula dulu bapaknya Ardi sangat baik sama kamu ‘Rin,” itulah alasan ibu ketika kutanyakan perihal undangan makan malam untuk Ardi.
Rupanya kejutan dari Ardi belum juga berakhir. Entah apa maksudnya, dia terus merepotkanku dengan permintaan gila dan tidak masuk akal. Dan aku sendiri seperti terkena guna-guna yang hanya mampu mengiyakan permintaannya.
“Kamu gila!”
“Please ‘Rin. Aku harus minta tolong sama siapa lagi?”
“Kenapa tidak minta calon istrimu yang memilihkan?”
“Kamu satu-satunya sahabat perempuan yang aku punya ‘Rin.”
“Sahabat”, dengusku. Enak saja kamu bilang sahabat setelah dengan lantang mengatakan cinta kepadaku dan sekarang kamu meminta aku memilih baju pengantinmu. Kamu tidak punya hati Ardi, aku terus membatin dan menggerutu.
Dengan dalih tidak mau dianggap sebagai perempuan cengeng pengemis cinta, aku ikuti kemauannya. Senyumku tetap mengembang.
Tidak kuizinkan sedikit Ardi mengetahui bagaimana luka hati ini menggerogoti hari-hariku.
Kebetulan pula, hari itu Mas Hemi sedang pergi keluar kota. Tidak pernah sekali pun aku pergi tanpa memberitahunya. Termasuk sore itu. Di hati kecilku, aku tetap tidak mau menyakiti perasaan suami yang telah kutitipkan mimpi dan masa depanku.
“Sebagai sahabat, Ardi. Jangan kamu berpikir aneh-aneh.”
“Ya, sebagai sahabat terbaik, Airin. Aku jemput kamu nanti sore.”