Rabu 20 Feb 2019 13:59 WIB

Rotan Keh Pusri

Rotan Keh Pusri biasa disabetkan di punggung anak yang tidak hafal surah Alquran.

Rotan Keh Pusri
Foto: Rendra Purnama/Republika
Rotan Keh Pusri

REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Sule Subaweh

Di halaman panjang beberapa anak lari kocar-kacir. Kelereng dibiarkan berserakan dan sandal mereka tinggalkan begitu saja saat melihat Keh Pusri dengan rotan di tangan menghampiri tempat mereka bermain. Tidak ada siapa-siapa saat Keh Pusri berada di halaman panjang itu, anak-anak lari seperti maling.

Keh Pusri memunguti kelereng yang berserakan tanpa tersisa. Sementara, dari jauh anak-anak yang lari tadi mengintip dari rerimbunan pohon sambil menahan debar. "Habislah kita," ujar mereka.

Lari dan bersembunyilah di lubang semut dari kesalahan. Tapi, jangan harap bisa lolos dari perihnya sabetan rotan Keh Pusri di tempat ngaji. Di tangannya, segala kesalahan akan disidang dengan sabetan rotan, tiga sampai lima kali.

Sungguh, bukan memar punggung yang membuatnya sakit. Tapi, tatapan juga cibiran orang-orang serta teman-teman yang membuat perih itu, bertahan. Awal 1990-an, di kampung Jentampes sakitnya kibasan rotan bisa mengalahkan tajamnya celurit dan meluluhkan keangkuhan.

Dan, Keh Pusri yang matanya juling itu lebih tajam dari penciuman dan pendengarannya. Dia tidak hanya bisa melihat apa yang kami sembunyikan, tapi juga dengan cepat berada di lokasi saat ada anak didiknya bertengkar.

Aku masih ingat saat bertengkar karena kalah banyak main kelereng dengan Masbuhar yang hitam dekil itu. Entah siapa yang mengadu, tiba-tiba Keh Pusri sudah mendekat ke arah kami. Dan, dengan cepat aku dan anak-anak yang ikut bermain kalang kabut seperti semut yang diambil makanannya.

Lantas, di tempat ngaji yang terdengar bukan ayat-ayat, tapi "tar... tar... tar..." tiga kali sabetan rotan melintang di punggung Masbuhar dan punggungku. Tentu saja, kami sudah punya firasat akan dihukum dan sudah siap menghadapi sabetan rotan.

Kata teman-teman senior, kalau sudah siap lebih dulu maka rasa sakit akan berkurang karena kita sudah sadar akan menerima rasa sakit. Nyatanya, tetap saja sakit, bahkan lebih perih dan melekat di punggung selama berhari-hari.

"Kamu harus meraba bekas sabetan itu agar merasakan kesalahan yang kamu lakukan," kata Ibu. Aku tidak bisa tidur karena ngilu dan perih semalaman. Setiap kali terkena hukuman, sudah dipastikan aku tidak bisa tidur.

Teman-teman atau warga akan mengucilkanku selama berhari-hari. Salah satu cara agar terhindar dari cibiran dan kucilan, aku harus hafal surah-surah pendek. Kalau tidak, aku akan menjadi bulan-bulanan tatapan sinis warga.

"Rasa sakit itu akan cepat hilang, tapi kepercayaan tidak akan hilang secepat rasa perihmu, Cong," kata Ibu setelah aku mengadu karena dihukum Keh Pusri untuk kedua kalinya.

"Tapi kan bukan aku yang bersalah, Bu."

"Kamu sudah dicap merah oleh Keh Pusri. Kamu akan terus menjadi tersangka dalam beberapa persoalan, Cong, sebelum.…"

"Sebelum apa?" sergahku. Aku kesal karena yang mengintip orang mandi di pantai saat air pasang waktu itu Masbuhar dan Dussalam. Teman-teman yang berada di lokasi kalang kabut secepat tikus ketika melihat Keh Pusri dari jauh menenteng rotan. Saat itu, aku memilih tidak beranjak dan sial kena hukum pula di tempat.

"Siapa lagi yang ikut bermain?" gertak Keh Pusri setelah memukul Masbuhar dan Dussalam berkali-kali. Mereka menahan sakit sambil menggosok-gosok punggungnya. Keh Pusri menatap kerumunan anak-anak yang tegang.

Sesekali, dia akan menyabetkan rotan atau pecut ke lantai mengagetkan kami yang duduk senyap. Sebenarnya, dia sudah tahu siapa saja yang terlibat waktu itu, tapi entah mengapa dia tetap bertanya sambil memukulkan rotan ke lantai berkali-kali.

"Ali, Rofiqi, Masnawi..." kata Masbuhar terbata-bata. Ada pula yang mengacungkan diri. Tanpa banyak tanya, secara bergiliran anak-anak yang berada di lokasi --meski tidak ikut mengintip, mendapat sabetan rotan satu per satu, tidak terkecuali aku.

"Membiarkan orang melakukan kesalahan sama saja melakukan kesalahan," kata Keh Pusri setelah menghukum. Dia tidak pandang bulu. Semua mendapat hukuman tanpa terkecuali anaknya sendiri jika salah. Maka, setelah itu kami memilih tidak lari saat ada pertengkaran.

"Lari hanya menyusahkan diri," kata Masbuhar saat teman kami terlibat pertengkaran lagi.

"Mending kita lerai," lanjutnya sambil memisahkan teman yang sedari tadi bertengkar.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement