Senin 04 Mar 2019 17:30 WIB

Di Balik Bingkai Formosa

Demi masa depan sang anak, Kinarsih rela banting tulang di Negeri Formusa

Di Balik Bingkai Formosa
Foto: Rendra Saputra/Republika
Di Balik Bingkai Formosa

REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Eti Nurhalimah

Aku mendekap ponsel kuno yang kubawa dari rumah, tak kupedulikan angin malam yang dingin membungkus tubuhku hingga menggigil. Sedih, terpukul, dan merasa bersalah. Semua menjadi satu. Ingin kumaki sendiri diri karena menjadi seorang ibu yang tega meninggalkan buah hati dalam kurun waktu bukan sepekan, sebulan, ataupun setahun.

"Sabar, Nduk. Nanti dia juga akan tahu dan mau bicara dengamu di telepon," hibur Ibu di ujung sana.

Namaku Kinarsih. Aku adalah wanita yang memiiki satu putra dan tengah mengarungi lautan perjuangan di negeri orang. Awal kedatanganku ke Taiwan pada 2011 merupakan waktu terberat yang harus kulalui. Beradaptasi dengan lingkungan baru. Sebuah negara yang belum pernah kukunjungi sebelumnya, meski di dalam mimpi. Banyak perbedaan yang harus kupelajari, mulai dari bahasa, adat istiadat, kebudayaan, hingga cara-cara kerja dan penerapan keseharian.

Di awal kedatangan, aku pun melaksanakan ibadah secara sembunyi-sembunyi, karena belum berani terang-terangan meminta izin kepada majikan. Menunggu waktu tepat, untuk mengutarakan.

Hal terberat kedua adalah menahan rindu pada Dimas, buah hati yang kumiliki. Tujuh tahun lalu, menjelang perayaan ulang tahunya yang kedua, putra semata wayang aku tinggalkan. Masih terngiang jelas, bagai amana dia menangis, saat ibu menggendongnya ke belakang, agar tak melihat kepergianku yang akan meninggalkannya pergi merantau.

"Maafkan mama, Nak. Mama bukanlah orang tua baik, yang bisa menemanimu bermain dan membacakan dongeng menjelang kau tertidur. Namun, mama akan menjadi lebih jahat, jika membiarkanmu tak memiliki masa depan, dan putus sekolah karena tak ada biaya."

Aku berharap dapat mendengar suaranya memanggilku mama, meskipun kami berjauhan. Agar suara renyah itu, dapat mengobati bongkahan rindu yang kian hari kian menggununng. Membuat dadaku sesak, menahan tangis yang terisak, selalu tersimpan di palung hati yang terdalam. Sayangnya, acapkali kutelepon Dimas selalu diam.

Dahulu, aku hanya memiliki ponsel kuno tanpa kamera dan akses internet yang dapat berselancar di dunia maya. Tidak seperti sekarang, sekatan jarak dan waktu, tak mengurangi kedekatan, berkat kemajuan teknologi. Mendengar suara ibu dan bapak merupakan kekuatan tersendiri bagiku dalam berjuang di negeri orang.

Masih hangat di dalam ingatan. Bagaimana sibuknya aku menjadi seorang mama sekaligus papa bagi Dimas. Pascaperceraian rumah tangga kami, aku memilih pisah dari orang tua. Menyewa ruko dan membuka usaha bengkel, sembari berjualan sembako. Adik dan keponakanku yang menjadi montir reparasi motor. Aku sengaja menyingkir, karena tak ingin membebani bapak dan ibu yang telah luka karena kegagalan rumah tanggaku.

Sejak awal, beliau tak menyetujui pernikahan ini. Namun atas nama cinta, aku memohon agas restu tetap kudapatkan. Meskipun akhrinya, prahara rumah tangga tak terelakan. Dua tahun kulalui hidup mandiri dengan penuh ketegaran, setelah akhirnya aku memutuskan meninggalkan kampung halaman. Mengobati luka yang menganga, sekaligus mempersiapkan masa depan Dimas agar jauh lebih baik. Taiwan adalah tujuanku.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement