REPUBLIKA.CO.ID, Cerpen Oleh: Agung Zakaria
Setagaya di musim dingin tampak putih berselimut salju. Dari balik jendela kamar, kusaksikan orang-orang bermantel tebal berjalan cepat menembus udara yang membuatnya menggigil.
Suhu yang begitu dingin seperti inilah yang membuatku enggan melakukan aktivitas di luar ruangan. Terlebih di usiaku yang tak lagi muda, aku lebih suka menghabiskan waktu di kamar untuk sekadar beristirahat.
Terdengar bel beberapa kali dibunyikan dari luar pintu kamar. Aku terbangun dari istirahatku, dan bergegas membuka pintu.
"Sumimasen!," ucap seorang lelaki yang tak pernah kukenali sebelumnya. Di depan pintu yang baru saja kubuka, lelaki itu membungkukkan badan kemudian tersenyum.
Aku tak pernah berpikir akan ada yang menemuiku setelah lama tinggal di sini. Sejak kepergian Taizan-suamiku-lima tahun silam, aku memutuskan untuk pindah ke sebuah apartemen kecil di kawasan ini.
Kepergiannya menghadap Sang Kuasa membuatku larut dalam kesepian dan kesedihan. Aku berpikir akan sangat menderita jika harus tetap bertahan di rumah yang pernah kutinggali bersamanya. Dengan tekad bulat, kuputuskan untuk mengubur kenangan dan memulai kehidupan baru.
"Gomenashai, sedikit menunggu," ucapku sembari membungkukkan badan sebagai bentuk permintaan maaf. Aku membuka lembaran ingatanku ketika menatap sesosok di hadapanku. Namun, wajah lelaki itu memang tak kukenal sama sekali.
"Daijobu. Ini ada paket untuk Anda!"
Masih dalam raut wajah yang sama, lelaki itu menyodorkan sebuah kotak berbalut kertas berwarna cokelat. Dengan rasa penasaran, tanganku gemetar menerima paket yang dibawakannya.
Paket berisi baju hangat itu bertuliskan dari seseorang yang tak kuingat lagi siapa dia. Rupanya usia telah memudarkan ingatanku akan beberapa orang yang pernah kukenali sebelumnya.
"Eh, tunggu sebentar. Apakah Anda orang Indonesia?" tanyaku pada lelaki berkulit sawo matang itu.
"Bagaimana Anda bisa tahu?" lelaki itu terkejut mendengar pertanyaanku. Meskipun aku belum mengenalinya, wajah sepertinya sudah tak asing lagi bagiku.
"Mari masuk sebentar. Ayo kita minum teh bersama. Kau pasti kedinginan kan?"
pintaku pada lelaki itu.
Ia menuruti ajakanku, dan kami berbincang cukup lama di dalam kamar sambil menikmati seduhan teh hijau yang hangat. Lelaki pengantar paket asal Indonesia itu bernama Bayu. Ia bekerja sebagai kurir di salah satu perusahaan jasa pengiriman barang sembari menamatkan studi S-2-nya di University of Tokyo.
Bak kejatuhan durian runtuh, bertemu dengan orang sebangsa di negeri asing adalah satu hal yang menggembirakan. Sebab, dengan begitu kami bisa sedikit menuntaskan kerinduan terhadap kampung halaman dengan berbagi cerita mengenai kehidupan di tanah rahim.
Kehadiran Bayu-san mengingatkanku pada Yoshida, putra semata wayangku yang telah jauh meninggalkanku. Bersama gadis bermata biru yang dipinangnya tujuh tahun silam, ia pergi meninggalkan Jepang dan tinggal di negeri istrinya berasal.
Awalnya tidak ada masalah mengenai keputusan Yoshida untuk tinggal di benua biru. Namun, sepeninggal suamiku, aku benar-benar merasa kesepian. Mungkin ini yang dirasakan ibu dan bapak ketika dulu aku memutuskan tinggal di Jepang dan berpindah kewarganegaraan.
Hari demi hari berganti. Menjumpai masa tua membuatku menjadi sangat perasa.
Aku kian merasa kesepian dan dilupakan oleh orang-orang tersayang. Bukan maut yang kutakuti dalam hidupku ini yang menjelang malam. Namun, kesedihan yang membunuh jiwaku akibat terlalu lama hidup dirundung sepi.
Kini tiada lagi asa selain dapat berpulang dengan tenang. Apa mungkin ini balasan Tuhan atas perlakuanku terhadap ibu dan bapak dahulu. Taizan, lelaki sandaran hidupku telah berpulang, dan anak semata wayangku telah lama meninggalkanku.
Polandia terasa begitu mustahil untuk kujangkau. Meski kerinduanku terhadap Yoshida kerap memuncak, aku tetap berusaha berdamai dengan keadaan. Aku cukup tahu diri bahwa tidaklah mungkin bagi seorang wanita renta sepertiku ini menempuh perjalanan yang begitu jauh. Lagi pula, andai saja memang ada biaya untuk membeli tiket pesawat, aku akan memilih untuk pulang ke Indonesia dibandingkan menyusul mereka di sana.
Kesibukan sebagai seorang wartawan membuat Yoshida tak ada waktu meski sebatas untuk menanyakan keadaanku. Ponsel yang tergeletak di atas meja kamar sudah sangat lama tak berdering. Tidak ada lagi kabar darinya. Acap kali aku bertekad untuk menghubunginya, tapi segera kuurungkan. Aku takut mengganggunya, atau bahkan membuatnya marah karena menelepon di waktu yang tidak tepat.
Sekuat tenaga kusingkirkan kesedihan akibat rundungan sepi. Meskipun terkadang ia hadir secara tiba-tiba, dan aku tak dapat menolaknya.