Kereta tiba. Aku melangkah malas ke dalam ular besi. Mencari kursi di gerbong yang masih kosong. Langit mulai menua. Mendung menambah sepuh cuaca. Gerimis mulai berjatuhan di luar jendela. Bayangan kamu berkelebatan di dalam kaca jendela kereta yang kusam karena jarang dibersihkan.
Kereta mulai bergerak maju. Memburu ruang dan waktu yang bersekutu. Aku ajak mereka bersekutu, untuk mencari-cari kamu yang menghilang tiba-tiba karena putus asa.
Hujan menderas di luar jendela. Bayangan kamu perlahan memudar. Luntur dihajar air langit. Rumah-rumah penduduk yang bersolek dengan cahaya lampu tak lagi terlihat cantik. Suara gesekan roda kereta dan ayunan gerbong berebut dan berdesakan menggedor-gedor gendang telinga.
Ini adalah tahun ketiga aku pulang pergi saban akhir bulan naik kereta. Menemui istri yang kutitipkan dengan berbekal setia. Hanya setia, dan terkadang beberapa lembar rupiah yang kertasnya sudah kumal yang kukumpulkan dari kerja di ibu kota.
Tahun pertama pernikahan bagiku sulit. Apalagi akses ke rumah kamu jauh. Aku harus melewati puluhan kilometer dengan perjalanan panjang untuk menjengukmu. Tapi yang tak kuinginkan terjadi.
Setelah 36 perjumpaan singkat, malapetaka itu datang. Petaka yang tidak pernah terbayangkan. Setidaknya hingga ratusan butiran air bening berebut keluar dari balik lensa alami. Air itu lalu menguap terbawa angin yang tak tahu malu masuk dari sela-sela jendela kereta.
Kamu enggan ikut aku banting tulang di ibu kota dan memilih bertahan di kampung halaman sejak ijab kabul. Kukira biasa. Awalnya. Tapi, kecurigaan itu semakin nyata. Tanpa kabar aku memutuskan pulang lebih awal. Tidak seperti jadwal bulanan.
"Kenapa tidak beri kabar jika mau pulang," katamu sembari gelagapan ketika melihatku sudah berdiri di depan kamar.
"Kenapa?" tanyaku singkat. Mencoba menerka alasan yang keluar dari bibirmu yang jarang aku kecup.
"Karena aku putus asa," jawabmu singkat.
Tubuhku kaku. Aku yang biasanya tidak peduli dengan ucapan orang kini seperti orang gila yang punya alamnya sendiri. Sejak itu aku putuskan untuk berpisah dunia denganmu. Beruntung belum ada malaikat kecil dalam kehidupan aneh yang kita jalani selama 1.095 hari.
***
Dua tahun sudah aku menggelandang di ibu kota. Nebeng tidur dan numpang makan di rumah kerabat. Satu ketika, ada seorang guru mengaji yang menawarkan tempat berteduh. "Setidaknya sampai kamu punya rumah," kata dia.
Abah, begitu aku memanggilnya dan orang-orang di lingkungan rumahnya. Ia peranakan Arab Betawi. Disegani karena pandai mengaji. Abah tidak punya pesantren. Hanya langgar kecil tempatnya sehari-hari menghadiahkan ilmu yang diwarisinya dari ayahanda. Ilmu itu ia bagikan cuma-cuma kepada santri-santriwati. Terkadang ibu-ibu dan para suaminya.
"Nak, kamu mau menikah dengan kemenakan Abah?" tanya Abah tiba-tiba di suatu sore jelang berbuka puasa Senin-Kamis. Aku tidak bisa menolak. Pernikahan pun digelar. Hanum nama kemenakan Abah. Cantik layaknya perempuan keturunan Timur Tengah. Kerudung merah yang tidak sempurna menutupi wajah tirusnya. Sayangnya belum tumbuh cinta di hatiku yang hampir mati meski ijab kabul sudah digelar.
Setelah tujuh bulan bersama, baru aku tahu jika Hanum ternyata primadona di kampungnya. Tak sedikit pemuda kampungnya yang berebut memiliki pesona Hanum.
"Kamu beruntung bisa menikahi Hanum," kata pengojek sepeda yang kutumpangi saat berangkat kerja.
Kukulum senyum. Ah, apa aku benar-benar beruntung, tanyaku kepada hati.
Tiga tahun aku menyulam rumah tangga. Tapi buah hati yang kunanti tidak kunjung tiba. Tak ada tanda-tanda dari Hanum. Sampai suatu ketika seorang kemenakanku berkunjung ke rumahku yang sederhana.
"Paman kenapa murung?" tanya dia menerka.
"Paman ingin punya anak, punya keturunan. Tapi bibi kamu belum hamil-hamil."
"Sabar paman. Mungkin belum waktunya."
Obrolan ringan yang didengar Hanum itu ternyata berdampak besar. Sejak itu perangai Hanum berubah. Ia sering marah tak jelas. Emosinya sering kali meledak. Hanum mulai malas diajak bercinta. Melayani sehari-hari seperti sekadar membuatkan kopi pun tak pernah lagi dilakukannya. Perubahan perangainya membuatku bingung. Sampai satu hari aku menemui satu lembar obat berwarna merah muda dari dalam tasnya. Ukurannya lebih kecil dari kancing baju anak sekolah. Pil KB.
Rupanya selama ini dia sengaja minum pil tersebut agar tidak hamil setiap kali berhubungan. Dan yang lebih menyakitkan, aku baru tahu ternyata dia tidak menginginkanku jadi suaminya.
Percakapan dengan kemenakanku pun dijadikannya alasan untuk minta berpisah. Dia menudingku ingin menikah lagi. Di hadapan keluarganya dan Abah, ia memaksa aku menjatuhkan talak. Alasannya sederhana, aku ingin menikah lagi karena Hanum tidak bisa memberikan keturunan.
Batinku hendak berontak, tapi aku tahan. Kegagalan lagi-lagi berada di depan mata.
Rapat keluarga itu pun berakhir ricuh. Tapi hanya Hanum saja yang ricuh. Abah tetap bijak. Ia juga baru tahu kemenakannya ternyata diam-diam sudah punya kekasih sebelum menikah denganku.
Dulu Hanum menerima pinangan Abah karena rasa segan. Tapi Hanum tidak menyangka akan dinikahkan dengan pria asing yang tidak pernah ia kenal sebelumnya.
"Semua keputusan ada di tanganmu, Nak," ucap Abah bijak. "Putuskan yang menurutmu baik. Shalat istikharah bila perlu."
Beberapa bulan sebelum peristiwa Malari meledak, aku putuskan untuk melepas Hanum. Melepas perempuan yang perlahan-lahan mulai mengobati luka hati. Tapi, luka hati yang hampir sembuh itu kembali mengangga. Bahkan lebih lebar. Semoga tidak membusuk lalu digerogoti belatung.