Kami duduk selonjor di teras rumah setelah berziarah ke permakaman Ayah. Bersandar ke dinding papan dicat warna hijau muda. Emak duduk persis di samping kananku. Jarinya menggelung suntil, menyelipkan ke sela gusi.
Tujuh hari lalu, Ayah meninggalkan kami untuk selamanya. Pergi ke alam sana, menghadap Sang Pencipta. Hari ini kami menziarahi makam Ayah. Semalam hujan turun menghujam bumi tanpa ampun. Tanah di makam susut dan hari ini kami merapikannya. Membentuk tanah itu menggunung layaknya sebuah makam.
Mata Emak tertuju ke kampil, merogoh kacip untuk mengupas pinang. Lalu menoleh ke jalanan, sembari tangannya mengupas pinang. Emak bisa mengupas pinang pakai kancip tanpa melihat ke arah pinang. Tatapannya kosong. Anggannya melambung ke belasan tahun lalu.
Saat itu, kampanye kemerdekaan daerah ini baru bermula setelah lama mati suri. Pertemuan dalam rapat akbar di sejumlah tanah lapang kerap digelar. Emak tak mau tahu urusan politik negeri. Baginya, urusan politik urusan kaum elite. Bukan rakyat.
Kata Aceh harus merdeka itu sudah didengar Emak sejak remaja. Ritus sepuluh tahunan isu itu terus bergelora. Selalu terjadi perlawanan antara gerilyawan dan aparat keamanan negara per 10 tahun. Dan ditumpaskan lewat desing mesiu bersahutan membelah malam. Menerabas awan.
Saat itu, aku masih di bangku SMP. Abang ku di bangku SMA. Kami juga ikut rapat akbar, menyaksikan pengibaran bendera bulan sabit bintang penuh khidmat.
Ribuan orang, tua-muda, siswa, pelajar, mahasiswa, dan santri tumpah ruah di lapang an nan luas itu. Bahkan, turut berdemonstrasi menuntut kemandirian daerah ini. Lepas dari pemerintah pusat.
Emak tak pernah melarang. Namun, satu pagi, Cupo Bidah bercerita ke Emak bahwa Ayah berdebat sengit dengan Apa Mae. Ayah menolak paham bahwa perjuangan harus memanggul senjata. Bagi Ayah, perjuangan sesungguhnya adalah menyejahterakan keluarga, tetangga, dan seluruh masyarakat desa. Sebaliknya, Apa Mae berjuang untuk kesahteraan rakyat sejatinya lewat perlawanan fisik. Memanggul senjata.
Cerita Cupo Bidah itu mengganggu Emak. Tak pernah kulihat wajah seserius itu menyimak kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir hitam Cupo Bidah. Kepalanya mengangguk tanpa paham.
Setelah mendengar cerita itu, Emak bahkan membatalkan niatnya untuk menanam cabai di kebun belakang rumah. Termangu duduk di lantai semen teras. Menunggu Ayah pulang dari warung kopi.
"Tadi kenapa berdebat dengan Apa Mae?" Ayah menceritakan kronologinya. Namun, Emak menolak. Baginya, berdebat begitu tak penting. Situasi keamanan yang tak menentu ini bisa membuat keamanan Ayah terganggu. Nyawa taruhannya. Bisa jadi gerilyawan menganggap ucapan Ayah sebagai penolakan akan perjuangan fisik melawan pusat. Bagi aparat negara, ucapan Ayah juga bisa ditafsir sebagai dukungan untuk kaum gerilyawan.
Mereka berdiskusi panjang. Malam hari, kami dikumpulkan semua. Tujuh anak duduk di ruang tamu beralaskan tikar pandan. Emak memutuskan Ayah akan merantau ke kampung halamannya. Sedangkan, kami tetap bertahan di kampung ini.
"Sampai mati pun aku tak akan tinggalkan kampung ini. Tangan ini yang menebas pohon besar, membuat jalan, parit, hingga kebun di desa ini. Tak akan kutinggalkan kampung yang kubangun sendiri," kata Emak.
Malam itu, malam terakhir kami melihat Ayah. Dia pergi ke kampung halamannya di kaki Gunung Leuser. Di sana, Ayah kembali ke pekerjaan lamanya. Buruh bongkar muat barang.