Aku meninggalkan rumah menjelang Isya. Jalanan sangat ramai dan sesak, padahal bukan akhir pekan. Dari dua arah berlawanan, yang ditandai oleh garis putus-putus warna putih, kendaraan bergerak seperti kura-kura berlari di atas pasir. Aku benci kondisi jalanan yang seperti ini. Namun, demi menyaksikan Nor Agus, penyair terkenal yang kukagumi, membacakan puisinya selepas pertunjukan monolog, aku rela menembus sesak kendaraan dan segesit mungkin mencari ruang untuk menyalip.
Sebenarnya, tidak butuh waktu lama untuk sampai di lokasi pertunjukan. Tetapi karena macet, penyakit yang kerap menjangkiti kota ini, aku butuh waktu setengah jam untuk sampai. Acara pertunjukan diletakkan di halaman depan Gedung Kebudayaan, di bawah tenda yang dipasang khusus dan sementara. Pertunjukan sengaja diletakkan di luar karena ruang utama gedung digunakan untuk pameran buku.
Aku duduk di teras depan Gedung Kebudayaan, tidak jauh dari pintu utama. Seorang perempuan bertubuh ramping mengenakan ID card yang digantungkan di leher berdiri di depan pintu utama. Seorang perempuan lain, bertubuh gempal, mengenakan kaus warna putih, mondar-mandir menyiapkan acara pertunjukan yang sebentar lagi akan dimulai. Gedung Kebudayaan, seperti namanya, adalah sebentuk bangunan tradisional dengan kontur pagar menyerupai bangunan kerajaan-kerajaan masa lampau.
Di depan panggung pertunjukan disediakan kursi, tapi aku memutuskan untuk tidak duduk di sana. Terlalu dekat. Aku memilih duduk di belakang karena dari sana aku bisa memperhatikan gerak-gerik setiap pengunjung yang datang, apakah mereka datang karena benar-benar ingin menonton pertunjukan monolog atau hanya ingin menghindari sepi dan kejenuhan-kejenuhan.
“Sudah tadi?” Seorang kawan lama duduk di sebelahku, lalu menawariku air mineral yang sudah tinggal setengah botol.
“Lumayan.”
“Kau tahu siapa yang akan menampilkan pertunjukan monolog?”
Aku menggeleng. “Pemain teater?”
“Gomblo. Tokoh teater lokal yang terkenal. Kau tahu?”
Aku menggeleng. Namanya saja aku baru dengar sekarang. Aku tidak tahu bagaimana sebenarnya tokoh teater bernama Gomblo itu. Aku menebak, mungkin dia seperti kebanyakan anak teater yang tak sengaja kulihat di Kafe Pustaka, mengenakan kaus oblong warna hitam atau putih dengan sedikit kata-kata di bagian dada atau punggung, mengenakan flat cap dan atribut lain seperti tas samping terbuat dari kain.
Acara dimulai dengan penampilan tari yang dilakukan beberapa anggota sebuah kelompok teater dari Surabaya. Seusai pertunjukan tari seorang pembawa acara naik ke atas panggung, berbasa-basi sebentar, lalu memanggil nama Gomblo untuk mementaskan monolog yang sudah ditunggu-tunggu.
Aku berdiri sebentar, lalu duduk kembali menopang dagu. Orang-orang yang tidak kebagian kursi berdiri. Seorang laki-laki bertubuh pendek menjulurkan kepala dari balik punggung seseorang yang ada di depannya.
Dalam monolognya Gomblo melontarkan kata-kata yang seolah mengolok-olok dirinya sendiri. Katanya, sastrawan tak bisa berbuat banyak tanpa bantuan penerbit. Dan tanpa pembaca yang ingin menikmati sastra, takkan ada penerbit yang mau menerbitkan buku-buku puisi. Padahal puisi, katanya lagi dengan penekanan suara tajam dan dalam, selalu mengajarkan kita untuk tidak bunuh diri.
Sambil menyimak bahasa satire Gomblo aku memperhatikan wajah orang-orang yang berdiri menghadap panggung. Perhatian mereka tersedot begitu dalam. Lalu, di tengah kerumunan itu pandanganku terbentur pada seorang perempuan berkerudung biru mengenakan jaket putih motif bunga.
Dia berdiri mendekap tubuhnya sendiri. Wajahnya memantulkan cahaya-cahaya yang datang dari panggung. Aku tidak mengenal perempuan itu. Tapi pada bentuk wajah, garis bibir, dan matanya yang serupa ekor kelinci aku merasa sedang melihat seorang perempuan yang sangat kukenal, seorang perempuan yang diam-diam kuperhatikan selalu duduk di dekat jendela.
“Sendirian?” tanyaku sok akrab.
Dia menoleh sebentar. “O, ya. Sendiri. Kau?”
“Seperti yang kau lihat. Suka pertunjukan monolog?”
“Dulu. Sekarang tidak begitu. Kau?”
“Aku ke sini hanya ingin melihat Nor Agus membaca puisi.”
“Nor Agus? Penyair dan cerpenis itu?”
“Dia juga seorang sutradara. Pertunjukan-pertunjukan teater garapannya selalu penuh penonton dan dinikmati artis-artis terkenal.”
Dia diam. Aku menerka, kalau dulu dia memang penyuka teater, seharusnya dia mampu meraba maksud kata-kataku. Tapi karena dia tidak memberikan tanggapan, konsentrasiku kembali pada Gomblo yang kini duduk di kursi, menulis menggunakan mesin ketik, yang mengeluarkan suara-suara keras saat huruf-hurufnya ditekan. Dua perempuan, yang bertindak sebagai tokoh figuran dan sengaja tampil dengan ekspresi wajah dungu, duduk di lantai dengan rambut keriting yang dibiarkan terurai tak beraturan.