Di hadapan kami, terhampar pasir putih yang indah, sebuah teluk, sebuah pantai yang permai, bagai memeluk daratan yang menjorok ini. Lalu kami berjalan menuruni bagian pantai yang landai, menapakkan kaki telanjang kami ke hamparan pasir tembaga yang terpapar senja. Kami berjalan pelan, terus sambil membiarkan kaki-kaki kami terbelai ombak yang meriak-riak letih, menatap pohon-pohon kelapa yang gemulai melambai-lambai, bagai berharap menunggu kekasih.
“Asni, kita ke sana, yuk!” ajakku kepada wanita di sampingku.
“Sekarang?”
Aku mengangguk sambil menggamit tangannya. Lalu kami berjalan menaiki undakan, mengikuti anak-anak tangga yang tersusun dari jejalan batu yang tak beraturan. Setelah beberapa jenak, berhenti menatap lelaki tua yang memakai ikat kepala sambil menjajakan manisan dan gula merah. Aku pun menghampiri. Asni mengikuti, mengiringiku dari belakang.
Setelah bercakap beberapa patah dengan lelaki tua itu, kami membeli dua buah gula merah, kemudian duduk di bawah gubuk sambil menatap hamparan biru yang terbentang hingga ujung cakrawala. Sambil mencicipi gula itu, aku memejam, merasakan aroma khas dari sari pohon nira. Indra penciumanku menjelma menjadi demikian peka, aku merasakan pikiranku mengembara ke suatu tempat.
“Seperti di kampung halaman…” Aku menggumam sendiri.
“Kau merindukan kampung halaman?” tanya Asni.
“Ya, aku merindukan tanah yang telah memelihara dan menemani masa kanak-kanakku. Di sana juga ada pasir putih, lambaian daun kelapa, dan gula merah, tapi tak ada laut seperti ini.”
***
Kampung halamanku, di Kalimantan dulu, pada suatu kurun waktu, penuh dengan ruap aroma gula merah. Tanahnya kaya, memendam banyak barang tambang dan minyak mentah. Di atasnya pohon-pohon rindang menyimpan banyak rawa di belakang hutan. Permukiman penduduk membujur mengikuti kelokan sungai. Dari sana, akan tampak jajaran rumah panggung yang memanjang di sepanjang aliran hingga pangkal muara.
Setiap pagi merayap, seiring kokok ayam, dan pekik sorak pencari rotan, mereka—para penduduk—berangkat menuju ladang. Lelaki pada masa itu pandai mengolah rawa yang penuh perdu menjadi jajaran sawah, membelah semak yang menyesaki padang, kemudian menyulapnya menjadi ladang-ladang subur, siap untuk dicocok tanam. Namun, sebelum berangkat ke sana, para pemuda terlebih dahulu meletakkan tabung bambu di bahu mereka, menerobos pagi yang masih berselimut embun, seperti tentara yang lelah terjaga sambil meletakkan selongsong senjata di pundak mereka.
Di pinggir-pinggir hutan, telah tampak batang-batang pohon nira yang menunggu untuk ditampung air sarinya. Dengan buaian Subuh yang masih remang, mereka menderes tangkai nira dan mengganti tabung bambu yang penuh terisi air sari dengan bambu baru yang akan kembali terisi dan akan terus terisi, lalu diambil di sore harinya.
Kemudian mereka pulang membawa banyak sari nira ke gubuk-gubuk tempat pengolah manisan dan memasaknya hingga utuh menjadi gula merah. Di bawah cipratan cahaya lentera, diserakkanlah gula-gula telanjang tersebut di ruang keluarga, lalu dipilah mana yang layak dan tidak serta dibungkus untuk dijual ke esokan harinya.
Keadaan akan tetap stabil di sepanjang musim. Apabila musim panen padi telah berlalu dan kemarau akan menjelang, rotan-rotan meranggas, pohon-pohon pisang tak lagi berbuah, sayur-mayur tak kunjung subur, atau banjir tahunan menggenang (karena kampung kami bertempat di dataran rendah), pohon-pohon nira tetap saja tumbuh dan bertangkai. Pohon nira adalah pohon yang sabar dan selalu menjadi pokok harapan. Hampir setiap rumah di kampung kami adalah pembuat atau pengolah gula merah.
Maka, tak heran jika kami mendengar dari mulut ayah-ibu kami bahwa tak ada satu pun orang di kampung yang merasa kekurangan. Hidup mereka nyaman dan tenang. Beberapa dari kami memang tetap miskin, tapi kami tak pernah merasa terhina. Rasa damai dan sejahtera seolah selalu ada meski kami tak pernah benar-benar menjadi kaya.