Sapraji berdiri di bibir pintu. Matanya melihat air banjir yang tak kunjung surut sejak semalam. Rumah berupa bangunan kecil yang kini ditempatinya itu dikepung air. Begitu pun juga yang terjadi dengan seluruh rumah warga desa Campoan.
Tidak pernah banjir menghampiri desa Campoan. Ini kali pertama desa yang jaraknya dekat dengan kabupaten tersebut direndam banjir oleh hujan yang turun hanya satu jam. Pastilah ada alasan, mengapa air itu tak kunjung surut. Pikiran Sapraji menduga-duga. Ia menghela napas panjang.
Matahari yang baru saja merangkak di permukaan langit tak sanggup membuat orang-orang bergairah melakukan aktivitas pagi hari. Mereka malas keluar rumah. Mereka lebih suka mengungkung diri dalam rumah sambil berharap air segera surut. Sapraji duduk santai di teras rumah. Secangkir kopi buatan istrinya terhidang di meja.
Laki-laki berbadan kerempeng serupa batang lidi itu mengerutkan kening. Berpikir keras, mencari sebab musabab banjir yang tiba-tiba mengepung desanya. Baginya itu pertanda sesuatu yang buruk telah terjadi. Aneh bagi Sapraji yang memang dilahirkan di desa itu melihat banjir merendam desanya secara tiba-tiba.
Ia meneguk kopinya dengan cara yang sangat santun. Sejak Sapraji dilahirkan di desa Campoan hingga menikah dengan Maimunah dan memiliki dua anak tak pernah ada banjir menerjang desanya. Dan bagi Sapraji sendiri rasanya mustahil banjir akan menyergap desanya dikarenakan desa tersebut memiliki banyak resapan air. Pohon-pohon tumbuh di mana-mana. Sungai mengalir lancar. Ladang dan sawah membentang seluas mata memandang.
“Mungkin karena banyak hotel dan villa berdiri, jadi makin sedikit resapan air. Bukannya warga disini banyak yang menjual tanahnya. Terlebih bandara juga sudah selesai dikerjakan. Bukannya dulu itu adalah sawah penduduk. Lalu siapa yang salah?” Maimunah memandang suaminya, meminta jawaban.
Sapraji menggeleng tidak tahu dan berujar, “Orang-orang memang sudah tak peduli pada ruang untuk air. Sungai pun dijadikan tempat pembuangan sampah.”
Sapraji baru sadar, ternyata desanya memang mulai berubah dari tahun ke tahun. Tak banyak lagi warga desa yang menggarap sawahnya. Mereka memilih menjual tanahnya dengan harga selangit. Kepala desa Campoan ikut membujuk warganya agar tanahnya dilepas saja untuk pembangunan bandara, hotel, villa dan bangunan-bangunan menjulang lainnya.
Kepala desa itu mengatakan, itu semata-mata membantu pemerintah kabupaten untuk mempromosikan wisata di kabupaten tersebut. Beberapa sawah warga Campoan harus dijual supaya pembangunan berjalan lancar.
Mereka tidak menolak keinginan yang disampaikan kepala desa. Apalagi sawah mereka dibeli dengan harga yang tak pernah mereka sangka. Harganya berlipat-lipat dari harga tanah biasanya.
Sapraji menjadi satu-satunya orang yang menolak bujukan kepala desa untuk menjual tanahnya. Berkali-kali kepala desa Campoan membujuk Sapraji agar tanah miliknya dilepas, sebab tanah tersebut mengganggu jalannya pembangunan bandara. Tapi berkali-kali pula Sapraji menolak permintaan itu. Teguh pendirian Sapraji yang mengatakan sampai nyawa sekalipun taruhannya tak akan pernah dijual tanah yang ia dapatkan dari warisan kakeknya tersebut.
“Apa jadinya kalau saya jual tanah itu. Apa yang saya akan wariskan pada anak cucu kelak. Menjaga tanah sama artinya menjaga anak cucu. Lagi pula, apa anda tidak cemas banjir akan menyergap desa kita?”
“Percayalah. Tidak akan banjir.” Kepala desa itu berusaha meyakinkan Sapraji.
Sapraji tersenyum sinis. “Jangan mendahului keputusan Tuhan.”