Jumat 19 Jul 2019 06:23 WIB

Diskusi Mata Hijau (Cerita Pendek)

Ia melihat mata sayu yang memendam rindu, melihat kesepian, kesendirian, terasingkan

Diskusi Mata Hijau
Foto: Rendra Purnama/Republika
Diskusi Mata Hijau

Kopinya telah dingin ketika tamu berjubah silver datang secepat kedip mata duduk menghadapinya. Tudung berkilau oleh limpahan sorot lampu warung kopi makin mengaburkan paras wajah, hanya sepasang matanya sepintas tampak berkilat, kehijauan.

Ia sunggingkan senyum datar. Senyawa aneh merambat. Sejuk tiba-tiba lengkap memenuh ruang.

“Aku tidak mau mati dengan cara itu,” ia mulai bersuara. Gelas kopi ia putar-putar pelan, seakan mengikuti irama detik jam dinding tua yang berderak letih.

“Sudah jalanmu.” Tamunya menjawab. Tidak lewat lisan, namun getar frekuensi kalimat itu bergaung di kepalanya.

“Tidak mau!”

Hening.

“Kalian memang tidak mengerti, semua itu akan melukai hati keluargaku, calon istriku!”

Tamunya diam.

“Semua misteri kehidupan ini makin membuatku ragu pada esensi makhluk macam kalian.”

“Kau yang tidak mengerti, waktumu telah tiba, tapi masih saja tidak bisa lepas dari keakuan. Padahal, semesta terus mengingatkanmu bahwa semua fana akan binasa.”

Derak jam tua mengisi keheningan. Berbagai pleidoi mencuat keluar dari benaknya, protes panjang pada langit tentang jalan hidupnya yang nyaris selalu tertatih, selalu tersuruk-suruk tanpa pernah bisa mengejar ketinggalan. Sampai ketika mata ketiganya terbuka, dan ia melihat kehidupan dengan cara yang berbeda.

Memaknai kesempatan dengan ganjil, dan melihat orang-orang di sekitarnya tidak lagi ber wujud manusia. Kadang di matanya, seseorang terlihat bertanduk, ada yang berkepala kelamin, ada yang berkepala ular, ada yang dadanya ditumbuhi rumput liar, sering pula ia lihat orang berkepala masjid berdada sajadah.

Di atas semua, ia selalu gelisah melihat jumlah napas mereka yang terus berkurang dari embus ke embus berikutnya. Menjadi lebih ngeri ketika ia melihat jumlah napasnya sendiri.

Ia tersenyum kecut, mengambil kretek dan menyalakannya. Penuh hikmat ia isap bakaran tembakau di mulutnya yang gelap. Segelap pikiran mendedar hidupnya sejak empat puluh hari lalu. Firasat mengantarkannya ke warung kopi, serta mengundang tamu astral yang pernah mengunjunginya lewat mimpi.

Renungan mengantarnya pada segala peristiwa lampau. Pertama kali mengingat sesuatu, mengatakan sesuatu, mendengar sesuatu, pertama kali menghidu sesuatu, pertama kali merasakan sesuatu sampai pertama kali kebas, tak lagi merasa apa-apa.

“Mau nambah kopinya, Kang?” Sarti, pelayan warung kopi mengacaukan perjalanannya menjelajah memori. Tertegun, ia seperti baru turun dari kendaraan kahyangan, asing menatap sekeliling, beberapa sopir truk antarprovinsi menikmati malam dengan santai, tenang membalut keletihan.

Ada yang khusyuk dengan ponselnya, ada yang berbincang tentang seni rupa, ada yang terkantuk-kantuk sembari masih menjepit puntung rokok. Tamunya tak tampak lagi, barang kali hanya padanya makhluk bermata hijau itu menampakkan diri.

“Boleh, Mbak.”

Pandangannya berpindah, memindai tangan ramping itu dengan keindah anter sendiri meracik kopi untuknya. Ia juga melihat napas Sarti berkurang sesudah diembuskan dengan refleks. Secara otomatis terkalkulasi menyisakan angka lumayan panjang.

Kopi panas tersaji, uapnya  mengepul bagai tarian kabut tipis, seiring aroma khas mengunjungi penciumannya.

Kok gelisah terus, Kang. Tidak seperti biasanya.” Perempuan yang bia sa irit kata-kata itu membuka dialog dengannya. Selintas, ia ingin tertawa. Ya, harus begini sebelum semua diakhiri. Harus ada drama yang bisa diingat orang. Kini, ia tahu kenapa.

“Oh ya?” Senyumnya hambar. Kembali mengisap kretek yang nyaris habis.

“Menurut Mbak Sarti, hidup ini apa?”

Sarti menatapnya heran. Sejenak beradu pandang, mata Ilham segera kabur ke dinding warung yang penuh tempelan pos teriklan rokok.

“Hidup itu anugerah kata D’Masiv, Kang.” Sarti cekikikan setelahnya. Entah karena merasa lucu atau tidak tahu ja waban yang diinginkan Ilham.

“Hidup itu perjalanan pulang, Mbak.” Tanpa senyuman, ia menekan suara. Tawa Sarti kandas.

“Pulang ke mana, Kang Ilham? Yang jelas, hidup itu perjuangan untuk sukses. Lha ini, contohnya saya, jadi pelayan warung ini sudah sepuluh tahun, hanya untuk bertahan hidup, biar nggak mati kelaparan, atau setidaknya, ya matinya jangan karena nggak bisa makan. Impian sih bisa sukses seperti Inses ya, dapat jodoh tampan, mapan, beriman. Apa daya, nasibku bukan nasibmu, kata Iwan Fals, hihihihi. Sampean juga, toh? Kerja siang malam jadi sopir truk untuk menghidupi keluarga di kampung.”

“Itu hanya bagian dari ikhtiar, Mbak. Sebenarnya, hidup itu perjalanan mencari fungsi masing-masing, bertemu atau tidak dengan kehendak penciptaan, perjalanan tetap punya tujuan. Sangkan paraning dumadi, dari mana kita berasal ke sanalah kita berpulang.”

Sarti termangu beberapa lama. Mencerna ucapan lelaki di depannya, tetapi tidak paham juga. Semenjak menjadi langganan warung kopinya, Ilham tidak pernah bicara sepanjang ini. Lelaki itu dikenal pendiam dan tidak punya banyak teman.

“Sebelum tidur, buatlah pertanyaan untuk apa harus ada pagi setelah malam. Ketika bangun lagi, tanyakan pada hati, apa yang dikehendaki hati, apa yang diingini, apa yang harus dihindari. Hidup sebagai shalat, sebagai puasa, sebagai zakat, atau sebagai yang lainnya. Hidup tidak memberi kita aba-aba kapan berbelok, kapan lurus, kapan menyiapkan kapal bila banjir bandang datang, kapan menyiapkan keranda. Tidak ada kesepakatan menolak atau menerima. Yang terjadi harus terjadi. Carilah apa yang paling diinginkan hati. Sebelum kita jadi purna manusia.”

Sarti terbengong kehilangan kata. Matanya mengerjap-ngerjap tanda pikirannya berusaha keras memahami lawan bicara. Ilham menyesap kopinya sedikit demi sedikit  sampai tandas lalu pamit pergi setelah membayar semua kas bonnya dua pekan terakhir.

Lelaki itu menjauh, Sarti masih memandangi punggung bidang dibalut kaos abu-abu. Ia pernah dengar, Ilham dulunya seorang ateis, lalu berkelana ke seluruh pelosok Indonesia entah mencari apa. Hari ini di matanya, Ilham berkata-kata seperti putra seorang Kiai Mbeling yang menyamarkan pesan religi dalam lagu-lagu cinta.

Untuk kali pertama, Sarti mendapati paradoks dalam diri seorang lelaki berwajah resah. Sayup terdengar olehnya lantunan lagu: 

Kumengira hanya dialah obatnya

Tapi kusadari bukan itu yang kucari

Kuteruskan perjalanan panjang yang begitu melelahkan

Dan, kuyakin kau tak ingin aku berhenti….

Matahari muncul sepenggal di ufuk timur. Sejauh mata memandang, awan kumulo nimbus berarak pelan. Atmosfer terasa teduh, tapi serasa sendu kental. Nyanyi burung Emprit Granthil bersahutan, bagi sebagian orang malah terdengar mengerikan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement