REPUBLIKA.CO.ID, “Maaf, aku tidak bisa ke mana-mana, Lim. Biarlah aku di rumah saja, jadi petani,” kata Ahmad kepada Salim. Mereka berbincang serius di emperan, beralas tikar pandan yang di bagian sisinya sudah tampak bolong-bolong.
Tubuh Ahmad masih berlumur peluh. Ia baru pulang dari ladang kerena disusul Aisyah, adik satu-satunya, ketika teman akrabnya itu berkunjung ke rumahnya untuk sebuah alasan penting.
“Pikirkan baik-baik, Mad! Kesempatan tak akan datang dua kali. Pekerjaan ini gajinya besar. Selain itu, kau juga akan tahu seperti apa wajah kota metropolitan itu.” Kembali Salim membujuk.
Di kampungnya, Topoar, hanya Salim teman Ahmad yang tersisa. Sementara, teman-teman yang lain telah merantau ke kota-kota yang jauh. Ada yang ke Bali, ada yang ke Kalimantan, ada yang ke Jakarta, ada juga yang ke Banten. Ada yang bekerja jadi kuli bangunan, karyawan restoran, juga penjaga toko milik tetangga kaya.
Namun, sehari lagi Salim juga akan meninggalkan kampung halaman. Ia akan merantau ke Jakarta, menjadi penjaga toko milik pamannya. Karena itulah ia mengajak Ahmad karena menjaga toko tidak bisa sendirian, begitu katanya.
“Kamu tahu sendiri, Lim. Di sini aku punya banyak tanggung jawab. Aku harus merawat Nenek yang sakit-sakitan, merawat Adik yang masih sekolah, juga merawat tembakau yang masih sejengkal.” Kali ini Ahmad mendesah, seolah-olah beban-beban telah memenuhi dada ringkihnya.
Mungkin ia tak pernah membayangkan akan menjadi seperti ini, menjadi orang tua sebelum waktunya. Padahal, sebagai anak muda, tentu ia ingin bebas melakukan banyak hal yang ia inginkan, termasuk memperjuangkan cita-cita untuk menjadi apa saja. Namun, semua itu telah hilang sejak kedua orang tuanya meninggal karena mengalami kecelakaan setahun yang lalu.
Mendengar jawaban itu, Salim terdiam dan hanya memandangi wajah Ahmad yang tertunduk. Mungkin ia bisa merasakan beban yang ditanggung oleh teman akrabnya itu begitu berat dan ia tak tega membujuknya kembali untuk ke sekian kalinya. Akhirnya, setelah lama dalam kebisuan karena sudah tak ada lagi yang dibincangkan, Salim pun pamit dan tak lupa minta doa agar dirinya selamat dan sukses hidup di tanah rantau.
Salim pun keluar dan Ahmad mengantarnya sampai pintu pagar. Air mata Ahmad meleleh seiring tubuh Salim yang makin jauh.
Pagi itu Ahmad hampir lupa bahwa ia masih punya pekerjaan yang belum selesai. Maka cepat-cepat ia beranjak keluar rumah. Di musim kemarau, dia mencoba bertani tembakau dalam jumlah banyak. Tak peduli dengan perkataan orang sekitar bahwa bertani tembakau tahun ini tidak bagus seperti sebelumnya.
Di tahun itu, orang tua Ahmad juga bertani tembakau. Bahkan, mereka sampai melakukan banyak hal agar tembakau tumbuh baik dan bernilai jual tinggi. Namun, sayang, musim kemarau tak menentu, curah hujan tinggi.
Akibatnya, kualitas tembakau merosot dan harganya jatuh. Kini Ahmad ingin mengikuti jejak mereka, bertani tembakau meski kenyataannya musim tetap tak karuan. Di tengah jalan, wajah langit mendadak berubah.
Mendung tiba-tiba bergulung-gulung. Ahmad berusaha mempercepat langkah, tapi telat. Hujan buru-buru mengguyur sebelum ia sampai di tegal tempat tembakau tumbuh subur.
Namun, Ahmad tidak cemas. Wajahnya tetap cerah. Bahkan, berkali-kali terdengar bibirnya berucap syukur. Untuk kesekian kalinya, ia merasa telah dibantu oleh Tuhan. Sebab, ia tak perlu capek-capek lagi menyiram tembakau, setidaknya untuk dua hari ke depan.
Ahmad tidak berteduh. Ia terus menyusuri jalan yang semakin becek dan membiarkan tubuhnya kuyup oleh hujan. Berkali-kali ia berpapasan dengan tetangga yang tampak buru-buru dan kebingungan.
Mungkin mereka takut kedinginan dan ingin cepat sampai rumah. Namun, anehnya, beberapa dari mereka masih sempat mendekati Ahmad dan berujar sinis, “Kamu akan menyesal bertani banyak tembakau, Nak. Lihat, hujan turun lagi!”
Ahmad tersenyum senang begitu sampai di ladang dan mendapati tembakau-tembakau miliknya berlumur bulir-bulir bening. Beberapa saat ia berdiri mematung sebelum akhirnya mengelilingi tegal-tegal untuk memastikan tembakau-tembakau miliknya yang lain baik-baik saja.
Ahmad juga memeriksa tanaman-tanaman cabe di tegal lain yang berbuah lebat dan sudah tampak ranum. Sepekan dua kali Ahmad memetiknya, lalu dijual ke pasar tradisional. Dari penghasilan cabe itu, Ahmad sudah bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan masih bisa berbagi dengan yang lain, lebih-lebih anak yatim, fakir miskin, dan janda yang telantar.