Senin 26 Aug 2019 16:07 WIB

Proyek Pencabut Nyawa; Tuhan Harga Mati

Proyek ini seperti menggali liang kubur bagi kematiannya

Proyek Pencabut Nyawa
Foto: Rendra Purnama/Republika
Proyek Pencabut Nyawa

Hamid sudah lama sekali mengurung dirinya di dalam kamar. Ia merasa harus menyelesaikan proyek menulis buku yang sudah lama terabaikan.

Tenggat waktu proyek buku yang ia terima selama 30 hari tinggal tersisa tiga hari lagi. Inilah satu-satunya pekerjaan dan pertama ia terima setelah satu bulan ini menganggur mengandalkan sisa tabungan yang mulai menipis. Kelaparan di dalam kamar pengap.

Untungnya ibu kos tidak mengejar-ngejarnya untuk melunasi sisa sewa yang sudah dibayar setengah tahun. Uang yang ia dapat dari hasil kerja serabutan mengerjakan sejumlah proyek.

Kok bisa ia dapat proyek pekerjaan yang super mewah seperti menulis itu? Adalah teman kuliahnya, Hamdan, yang membawa Hamid ke dalam proyek menulis buku itu. Hamdan tahu sejak lama Hamid meninggalkan bakatnya menulis itu demi mendapatkan uang lebih cepat.

Ketika Hamid butuh uang dan tawaran datang dengan jumlah menggiurkan, tak ada lagi alasannya menolak. Ia langsung menyanggupi dengan daya yang ia punya:

sedikit riset, imajinasi, laptop pinjaman, dan satu lengan yang ia punya.

Sejak kecelakaan 10 tahun lalu, Hamid harus kehilangan lengan sebelahnya. Ke celakaan yang membuatnya sempat putus asa. Wajahnya rusak dan lengan kirinya patah.

Setelah tubuh dirasa membaik dan bisa diajak beraktivitas, ia berkelana meng habiskan masa buruknya ke berbagai tempat. Melakukan pekerjaan apa saja. Ijazah sarjananya tak berguna, alih-alih ia sudah ogah mengandalkan ijazahnya itu.

Kini di kamar kontrakan yang pengap ini, ia hanya menatap satu kalimat dengan kursor berkedip-kedip meminta proyek menulis diselesaikan. Proyek menulis buku ini selalu membuatnya sakit kepala. Ia selalu bergumam bahwa proyek ini adalah kejahatan paling brengsek yang bisa menyeretnya ke kehidupan lebih buruk. Itulah risiko terbesarnya.

Namun, uang 100 juta membuatnya mau tak mau mesti membuang ketakutan itu jauh-jauh. Ia tak peduli dengan segala risiko bahkan ketika ancaman pembunuhan datang padanya. Berhari-hari ia harus merakit fakta-fakta dan mengarang cerita seorang penguasa yang kini mencalonkan diri kembali sebagai presiden adalah pendukung gerakan partai setan yang membut pengikutnya meringkuk dalam penjara.

Apakah Hamid bakal ikut juga ke penjara?

Ia meremas kepalanya. Tenggat waktu yang mendesak tak membuatnya bisa melanjutkan satu kata pun. Di kepalanya hanya terbayang uang 100 juta dan tiket pesawat luar negeri yang akan ia kunjungi seusai menyelesaikan proyek buku ini.

Di satu siang terik, Hamid sudah merasa gerah. Ia butuh satu teguk kopi. Sudah lima hari ia tidak mengopi. Uang di sakunya terus dihemat untuk bisa hidup setidaknya tiga hari ke depan. Tidak ada uang DP dari proyek buku ini.

Dari arah gedung yang lain, suara handy talky tampak mengganggu seseorang. Lubang peneropong berusaha difokuskan ke sebuah pintu kamar. Lelaki dengan ikat tali warna hitam bertuliskan "Tuhan Harga Mati" itu terus-menerus diganggu suara-suara dari jauh: pastikan orang itu mati, kau akan kami bebaskan. H harus lenyap. Seseorang menyebut inisial sebuah nama.

Hamid membuka pintu kamar. Ia sudah tak sabar harus menghilangkan sakit kepalanya dengan aroma kopi. "Pekerjaan ini teramat brengsek!" Gumamnya.

Hingga tiba-tiba dering ponselnya berbunyi. Bergetar dari saku celana. Dilihatnya layar ponsel. Hamdan memanggil. Hamid heran.

Diangkatnya ponsel itu, lalu terdengar suara Hamdan. Ketika suara "Halo" terucap dari mulut Hamdan, tiba-tiba suara terdengar suara mengerang. Seperti menahan sakit. Suara itu membuat Hamid bergidik.

"Halo, Hamdan ada apa? Ada apa, Hamdan? Kau kenapa?"

"Hamid, cepat sembunyi! Segera lari dari tempatmu. Ada yang menembakku," Hamid tidak mengerti apa yang terjadi.

Dari tempat yang jauh, Hamdan terus memberi perintah seraya rubuh di tempatnya berdiri. "Akkhh, Hamid, cepat kau lari dari situ!"

Gila, ada apa ini? Hamid mematung lama. Ia berpikir keras. Ada apa sebenarnya?

Pikirannya kacau. Udara siang jadi makin terik dan membakar. Apa yang ia pikirkan belakangan ini benar terjadi. Risiko yang sudah ia bayangkan sebelumnya.

Jadi, ini adalah cara agar presiden jatuh dari kekuasaannya? Hamid menyeruput kopi panas yang baru saja dipesannya.

"Ya, tentu. Kau tahulah bagaimana seharusnya propaganda itu bekerja. Proyek ini sebagaimana proyek bawah tanah ditargetkan menyasar kepada orang-orang yang apatis dengan negara ini. Kita tidak bisa mematahkan keberhasilannya, maka kita hancurkan sosoknya."

"Waduh, waduh, sulit buat menolak, tapi berat juga untuk diterima."

"Sudahlah, kau tidak perlu banyak berpikir. Semua bakal aman. Tidak ada yang tahu dan mengenalmu kok. Sengaja aku memilih kau untuk mengerjakan proyek ini karena kau orang baru."

"Okelah. Terus, apa yang mesti aku lakukan?"

"Yang paling utama, kau harus segera pindah dari kontrakanmu dan cari tempat kos kecil di tempat yang tak biasa."

"Oh ya, ngomong-ngomong ke mana saja kau baru sekarang muncul di hadapanku?

Hahaha, panjang ceritanya. Nanti saja. Aku mesti bertemu kolega lagi di tempat lain," Hamdan beranjak dari tempat duduknya. Kedai kopi ini benar-benar tidak ada pelanggan lagi selain aku dan dia.

Hamdan rupanya paling tahu kapan kedai ini sepi dari pengunjung. "Jangan lupa, besok lusa kabari aku tempat kosmu yang baru. Data-data yang kau perlukan akan aku bawa ke kosmu. Nanti aku ceritakan lagi soal proyek ini."

"Baiklah," Kepala Hamid masih dipenuhi banyak pertanyaan soal pekerjaannya ini. Termasuk risiko yang bakal ia terima dari proyek ini.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement