Rabu 25 Sep 2019 16:01 WIB

Kemarau dan Emas Merah

Pada musim kemarau, kalkulator Tuhan berbeda dengan perhitungan manusia

Kemarau dan Emas Merah
Foto: Rendra Purnama/Republika
Kemarau dan Emas Merah

"Aku tak mau lagi gagal kedua kali untuk menanam cabai pada kampung kita ini. Tahun lalu, semua warga harus menjual lahan untuk bayar utang karena musim kemarau lebih panjang dari pada biasanya."

“Aku khawatir akan terjadi lagi tahun ini,” kata Tohir kepada Sobir. Perbincangan mereka berada di sebuah gubuk tua di tengah-tengah sawah setelah.

Tohir mendatangi Sobir di tengah sawah. Mereka akhirnya berbincang sangat serius.

Kata Sobir, "kalau aku tetap menanam cabai dan semangka pada musim kemarau ini. Kalkulator Tuhan berbeda dengan perhitungan manusia."

"Iya, tetapi alam itu pasti sama saja seperti tahun lalu. Bahkan, bisa lebih buruk sebab terjadi perubahan iklim."

“Lantas apa rencanamu kalau kau tak bertani lagi?"

“Aku mau berdagang bakso ikan saja di desa. Aku yakin banyak ikan terperangkap di rawa-rawa dan di sawah saat mulai mengering. Aku manfaatkan saja nanti semua daging ikan itu."

"Idemu bagus, tetapi aku tetap tak mau pergi meninggalkan aktivitas bertani. Aku yakin menanam cabai pada musim kemarau ada berkahnya."

"Sebagai seorang teman, aku menasihatimu sebab semua orang mengeluh dengan musim El-nino setiap tahun. Musim di mana terjadi perubahan setiap tahun, kadang musim penghujan lebih panjang dan sebaliknya."

Pada saat mereka asik berbincang-bincang. Tiba-tiba saja petani sebelah desa, Pak Ahmad kebetulan lewat dari depan gubuk tua tersebut.

Dia kemudian ikut bergabung untuk bercerita. Pak Ahmad bilang kalau cabai di desanya sudah mendekati berbunga. Sayangnya, cabai-cabai tersebut daun-daunnya meringkel dan banyak kutu-kutu. Semua orang sudah mulai stres karena utang tak terbayar. Pihak bank berkali-kali mendatangi mereka ke kebun karena nunggak tak bayar utang.

Mendengar itu Tohir kembali membujuk Sobir agar meninggalkan bertani dan ikut berdagang saja. Bahkan, dia bilang hal ini termasuk strategi bertahan hidup. Saat kemarau jangan bertani, tetapi berdagang. Kalau musim penghujan barulah bertani lagi.

Perbincangan mereka sangat ramai dan kadang berdebat. Meskipun demikian, Sobir tetap kukuh.

Semuanya akhirnya membubarkan diri. Setelah selesai perbincangan tersebut, Sobir memikirkan kembali keputusannya itu. Dia tidur gelisah dari malam hingga pagi. Istrinya sempat bertanya perihal tersebut, tetapi dia bilang dia tak bisa tidur karena banyak minum kopi. Padahal, logika ilmiah para sahabatnya sempat memengaruhi jiwanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement