Pak Pardi mengusap peluh di wajah dengan serbet kusam yang mengantung di lehernya. Tubuhnya ia sandarkan sepenuhnya ke badan mobil. “Mas, bentar lagi berangkat ya? Ada pesanan dari warung makan Bu Ijah.” Pak Pardi mengangguk lemah.
Lelah belum beres ia selesaikan, tapi ia cukup senang. Daripada tidur tak bangun-bangun sampai anak-anaknya sudah berangkat sekolah. Setelah bangun dengan badan terhuyung dan mata tak ikhlas membuka, ia tak bergegas cuci muka lalu melakukan kegiatan apa pun.
Ia malah nonton televisi atau berjemur di bawah sinar matahari sampai jam 10 pagi. Padahal, kemarin malamnya ia masih begadang, entah main catur bersama warga atau nonton televisi juga. Alhasil, istrinya mogok masak karena ngambek, punya suami kerjanya cuma menghibur diri saja.
Sesekali mobil yang dikendarai Pak Pardi berhenti. Jalanan amat ramai, membuat siang itu macet sekali. Ia heran. Biasanya macet itu ada jadwalnya. Antara pagi dan sore. Pengendara didominasi oleh pekerja dan pelajar. Itulah puncak macet sebenarnya.
Namun, itu tak pasti. Macet bisa terjadi kapan saja oleh sebab apa pun seperti sekarang ini. Mungkin ada kecelakaan atau mobil besar mogok, pikirnya. Lama di mobil pada siang hari yang terik membuat Pak Pardi gerah. Ia mulai mengumpat pada siapa saja yang berani menghalangi jalan besar itu.
Duduk di sebelahnya, Pak Kirman, pemilik pabrik tahu tempat Pak Pardi bekerja. Ia sibuk memencet tombol di ponselnya dan terdengarlah percakapan juragannya dengan orang di seberang sana.
Sang juragan menutup ponselnya. Ia memandang ke arah luar. Sejenak ia merasakan gerah seperti yang dialami sopirnya.
“Kemungkinan besok libur dulu. Pemesanan untuk minggu ini berakhir di warung Bu ijah. Kalau ada kabar baik lagi akan kuberitahukan,” ujar Pak Kirman lalu menyandarkan punggungnya ke sandaran jok sambil menutup mata. Pak Pardi menganguk sambil tetap mengerem karena ada mobil sedan berhenti di depannya.
Pak Pardi tidak bisa membayangkan kalau dirinya akan menganggur berhari-hari sampai ada panggilan dari juragannya. Itu sudah biasa ia jalani untuk ukuran sopir distributor tahu pabrik Pak Kirman. Namun, seperti yang sudah-sudah, kali ini ia akan mendapat dampratan dari sang istri karena malas-malasan. Padahal, ia sendiri bingung akan mengerjakan apa.
Pekerjaannya hanya menjadi sopir. Ke depannya, ia berencana menanam sayur-sayuran di sepetak tanah warisan orang tuanya yang lama tak terurus. Bukan cuma untuk memenuhi kebutuhan, tapi ia ingin kegiatan bercocok tanam itu dapat mengisi waktunya menunggu panggilan sekaligus meredam amarah istrinya karena kelihatan bekerja.
Jalanan di depan sudah lancar. Rupanya tadi ada mobil pengangkut barang yang mogok dan menutupi hampir separuh jalan. Pak Pardi mulai tancap gas menerabas mobil lain yang agak lamban. Juragannya masih terjaga dari tidur. “Istrimu masih suka marah-marah?”
Pertanyaan itu mengacaukan konsentrasi Pak Pardi pada jalanan. Ia sudah ingin cepat sampai tujuan agar rasa gerah lenyap. Kalau bukan juragannya yang bertanya, ia sudah marah-marah seperti istrinya karena ingin tahu sekali masalah rumah tangga orang.
Untuk menetralisasi rasa sebalnya, ia cuma berkata, “Sedikit agak mendingan. Asal panggilan tetap rutin, ya bibirnya bakal dibanyaki gincu dan tersenyum di hadapan saya. Hahaha..” Mobil yang di dalamnya terasa gerah cair seketika dengan tawa lebar mereka. Pembicaraan masih berlan jut dengan membahas strategi pemasaran diselingi gurauan.