Senin 14 Oct 2019 06:14 WIB

Jejak Cinta Asmarandana

kutemukan jejak kehangatan cinta dan kasih ada pada dirinya.

Jejak Cinta Asmarandana
Foto: Rendra Purnama/Republika
Jejak Cinta Asmarandana

REPUBLIKA.CO.ID, Napasku terengah-engah, tatapanku menyapu sekeliling, panik dan bingung menjadi satu. "Sin sang, emkoy* apakah melihat Bobo berkacamata dan membawa tongkat lewat sini?" Tanyaku pada satpam penjaga yang selalu berkeliling di sekitar taman di bawah apartemen.

Dia sudah hafal denganku karena hampir setiap pagi dan sore aku selalu mengantar dan menemani Bobo berjalan-jalan di taman ini. Untuk berolahraga atau sekadar duduk-duduk santai dengan para manula lainnya.

"Tadi aku lihat menuju ke sana!" telunjuknya mengarah ke anak tangga menuju jalan raya, yang membuat panikku semakin menjadi.

Aku langsung berlari hingga lupa mengucapkan terima kasih kepadanya.

Meskipun ini bukan kali pertama Bobo, nama panggilan wanita tua berusia 75 tahun yang aku rawat selama hampir se tahun ini pergi tanpa pamit. Tetap saja rasa kalut menghantuiku. Takut jika terjadi sesuatu karena dia adalah tanggung jawab pekerjaanku sebagai seorang migrant worker dengan pekerjaan sebagai perawat jompo.

Penyakit alzheimer telah menggerus semua ingatan Bobo yang kurawat. Tak satu pun yang ia kenali dan ingat tentang masa lalu, kecuali nama anak semata wayangnya "A Man" dan kota kelahirannya di Cina "Hang zhou". Jika sedang kambuh, dia mendadak gelisah, panik, susah mengen dalikan diri, dan suka berhalusinasi.

Hal yang paling ditakutkan adalah seperti sekarang, ketika tiba-tiba meninggalkan rumah tanpa pamit saat aku sedang mem bersihkan kamar mandi. Jalannya memang masih sehat meski harus dibantu dengan tongkat.

Napasku mereda, ketika kulihat sosok tua berkacamata tengah berdiri di seberang jalan dengan tongkat kayu sebagai peno pang jalannya, ia sedang berdiri di halte bus.

"Bobo a ..," Kuteriak dan berlari mendekati dirinya.

"Mari kita pulang," tanganku berusaha menggamit lengannya.

Namun, dia langsung menepis tanganku dan menghardik, "Siapa kamu? Ngo em sik lei. Chau a!"*

"Saya Ati yang menjagamu," kataku menyebut nama pemberian Nyonya Chow karena kesulitan memanggil namaku Kinanthi.

"Aku menunggu A Man. Sebentar lagi dia pulang kerja!"

"Emm, bagaimana kalau kita jemput dia?" Kucoba merayu sekenanya. Dia kembali menatapku penuh selidik dan sedetik kemudian membuang muka.

Dia sudah beranjak ingin pergi, antara putus asa dan mencari cara, refleks bibirku membuka, menyenandungkan bait-bait Tembang Asmaradana, membiarkan orang yang berlalu-lalang dan antre kendaraan menatap aneh dengan ulahku. Beberapa orang tampak tertegun dan berhenti, men coba mengenali lantunan senandungku yang mungkin terasa aneh di pendengaran mereka.

Poma-poma wekas mami, Anak putu aja lena Aja katungkul uripe, Lan aja duwe karman Marang pepaes dunya, Siyang dalu dipun emut Yen urip manggih antaka* Tampak wajah Bobo mulai mengendur, kepalanya mulai mengikuti irama tembang yang kusenandungkan.

Lawan aja angkuh bengis, Lengus lanas langar lancang Calak ladak sumalonong, Aja edak aja ngepak Lan aja siya-siya, Aja jail parapadu Lan aja parawadulan* "Nah, Bobo sudah ingat aku sekarang?"

Suara televisi yang memekakkan telinga berbaur suara gaduh di apartemen atas yang sedang diperbaiki tak membuat Bobo terganggu. Jika dia berada di rumah, dipastikan televisi selalu menyala. Entah dia sedang menonton atau tidak. Biasanya aku mematikan setelah Bobo tertidur.

Dia takut kesepian, jikalaupun terbangun tengah malam, dia akan bergegas ke ruang tengah dan membangunkanku untuk minta dinyalakan televisi. Dia juga suka mendengar ketika aku bekerja sembari menyanyi tembang Jawa, seperti yang tadi aku nyanyikan. Mungkin dengan adanya kegaduhan atau suara-suara ramai membuatnya merasa tak sendiri.

Sementara Bobo menonton, diriku sedang melipat kertas-kertas hingga membentuk seperti origami menyerupai emas batangan sebagai persiapan untuk sembahyang pada April nanti. Nyonya Chow telah mengirimkan kemarin.

Dia adalah kerabat sekaligus penanggung jawab Bobo setelah wafatnya Tuan A Man, anak semata wa yang Bobo tiga tahun silam karena kecelakaan kerja. Dia tinggal di lain distrik bersama suami dan anaknya. Hanya sekali waktu datang jika ada hal penting atau di awal bulan untuk mengantarkan gajiku.

Jika aku libur, sementara Bobo akan dititipkan di panti jompo dan aku akan menjemputnya setelah pulang dari libur. Karena Bobo tinggal sendirian di sebuah apartemen kecil, di daerah Tsuen Wan. Sungguh sangat menyedihkan nasibnya.

Selain suami dan anak semata wayangnya telah mendahului, memori ingatan tak ia miliki. Hidupnya ibarat kertas kosong tanpa coretan. Alzheimer bak virus ganas yang menyerang dan menggerogoti kedalaman komputer, menyebabkan kerusakan, dokumen hilang, dan harus instal ulang.

"Kuhangatkan sup ikan kesukaanmu," kataku sembari mendekatkan semangkuk sup, dan beberapa butir obat untuknya di meja.

"Aku sudah makan," jawabnya.

"Tadi sarapan, sekarang makan siang," jawabku membujuknya.

Aku dan Bobo ibarat dua manusia yang sama. Telah kehilangan sosok berharga dalam hidup. Inilah yang menguatkan dan membuatku bertahan untuk merawatnya.

"Kamu tidak bernyanyi?"

Aku tersipu, "Kamu minum sup, aku menyanyi, bagaimana?" Dia mengangguk, lalu aku senandungkan lagi tembang kesukaannya "Asmaradana", merupakan salah satu jenis tembang Jawa kuno anak dari Tembang Macapat, dengan bait-bait syairnya lebih berisikan nasihat cinta kasih kepada sesama, kepada Tuhan, juga kepada alam. Sayang sekali tembang-tembang ini sudah jarang diajarkan dan nyaris punah di kalangan anak muda sekarang.

Bagiku, setiap kali aku melantunkan tembang ini, tanpa sadar bulir air mataku menetes, dadaku penuh sesak dengan kerinduan yang membuncah dan berdarah pada sosok Simbah, nenek sekaligus penggganti orang tuaku.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement