Jumat 22 Nov 2019 03:42 WIB

Menunggu Jumat Pagi (Cerpen)

Kenapa antargolongan saling mempertikaikan kebenaran.

Menunggu Jumat Pagi
Foto: Rendra Purnama/Republika
Menunggu Jumat Pagi

REPUBLIKA.CO.ID, Air mata Madina menitik di atas telapak tangannya yang menengadah. Rapalan doa dari mulutnya mengalir bersama gerimis yang turun di sepertiga malam.

Sementara, dari balik celah-celah jendela kamar, angin merasuk, dan menggoyang-goyangkan cahaya lilin kecil yang menyala di samping tempat dia bersimpuh. Melalui hembusan angin itu, dia seolah bisa merasakan kekuatan Tuhan mengaliri seluruh ruang-ruang jiwanya dan memberi ketenangan.

Hampir semalaman, dia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Setiap kali matanya terpejam, selalu saja wajah lelaki itu membayang dan membuat dia gelisah.

Madina merasa tak sabar menanti hari esok. Sebab, pada pagi hari, sebelum panggilan Shalat Jumat berkumandang dari masjid-masjid, laki-laki yang dia cintai sudah berjanji akan datang membawa kabar. Dia berharap, kabar baiklah yang tiba. Yaitu bahwa orang tua si lelaki merestui rencana pernikahan mereka berdua.

Dalam remang cahaya lilin, Madina melaksanakan shalat tahajud di kamarnya. Listrik sedang mati karena sebab yang tidak begitu jelas. Gerimis telah turun sejak sore dan seolah abadi dalam ke teraturan yang mo noton.

Madina menyukai keadaan semacam ini. Bahkan, dia jadi makin giat untuk shalat tahajud. Lebih-lebih, malam ini. Sebuah waktu panjang yang harus ia lewati sebelum pagi tiba dan segalanya akan berubah begitu laki-laki itu datang.

Namanya Rizal Ibnu Wathon, tapi orang-orang karib memanggilnya Gus Ijal saja. Mereka sama-sama kuliah di jurusan Pendidikan Agama Islam dan keakraban di antara kedua orang itu telah terpupuk sejak kuliah semester pertama. Gus Ijal sering membantu Madina dalam memahami materi-materi kuliah dan mereka sering satu tim jika ada tugas yang sifatnya kelompok.

Gus Ijal pemuda yang cerdas di mata Madina. Terutama, dalam urusan fikih, bahasa Arab, dan kajian-kajian sejarah Islam. Tentu saja, hal tersebut tidak mengherankan.

Sebab, Gus Ijal adalah putra seorang kiai dan dia pernah mondok di sebuah pesantren di Jawa Timur. Jadi, soal keilmuan agama, Gus Ijal ter masuk yang paling mum puni di kelas perkuliahan. Madina tidak tahu, apakah Gus Ijal juga memiliki semacam kekaguman terhadap dirinya.

Gus Ijal bukan tipikal pemuda yang pan dai menebar pesona. Dia agak pemalu jika bicara dengan perempuan, meski tidak dalam taraf yang mengkhawatirkan. Oleh karenanya, Madina merasa terkejut bukan main ketika tiba-tiba Gus Ijal berkata ingin menikahinya setelah wisuda sarjana.

Pada mulanya, Madina agak ragu saat mempertimbangkan apakah hendak menerima ajakan Gus Ijal atau justru menolaknya. Namun, harus Madina akui, semua gambaran mengenai suami ideal ada pada sosok Gus Ijal: Lulusan pesantren, berwawasan luas, dan jago urusan agama.

Sebagai perempuan yang sejak belia dididik dalam keluarga yang taat beragama, tentu sulit bagi Madina untuk menolak pesona Gus Ijal. Maka, setelah mempertimbangkannya matang-matang, Madina pun memutuskan untuk menyetujui ajakan laki-laki itu.

Sayangnya, masalah justru mendera setelah Gus Ijal dan Madina sudah sama-sama hendak mengenal lebih dalam. Masalah dimulai lantaran keluarga Gus Ijal menentang habis-habisan hubungan mereka dengan dalih keluarga Madina berbeda aliran dalam beragama Islam.

Orang tua Gus Ijal berafiliasi dengan salah satu organisasi masyarakat (ormas) Islam terbesar di negeri ini. Sedangkan, orang tua Madina, bisa dibilang, merupakan simpatisan sebuah komunitas dakwah yang agak berbeda dengan ormas tersebut.

Padahal, sebaliknya, orang tua Madina justru senang mengetahui putrinya hendak menikah dengan laki-laki yang paham agama. Meski, pada awalya terjadi kekhawatiran juga di lingkup keluarga perempuan tersebut.

Madina memandang penolakan orang tua Gus Ijal tersebut tidak adil. Apa salahnya berbeda dalam memahami agama? Bukankah, yang terpenting, keluarga kami masih sama-sama Islam? Demikian, pertanyaan-pertanyaan tersebut terus menggelayuti pikiran Madina.

Bagi Madina, Tuhan adalah kebenaran sejati dan setiap orang memiliki jalur masing-masing untuk menuju kepada-Nya. Ibarat mendaki gunung, ada banyak jalur yang bisa ditempuh. Tentu, dia mengerti, bukan perkara gampang untuk mencapai puncak. Sebab, seseorang harus pintar memilih jalur agar tidak mudah tersesat dan mesti menyiapkan perbekalan yang sesuai supaya selamat sampai tujuan.

Madina melihat orang tuanya tidak sedang mengambil jalan yang sesat atau tidak beres, sehingga pantas untuk ditolak oleh keluarga Gus Ijal. Memang komunitas dakwah yang diikuti keluarganya memiliki metode berbeda dalam menyampaikan ajaran Islam.

Misalnya, sebulan sekali, sang bapak harus bepergian ke suatu tempat bersama komunitas yang dia ikuti untuk berdakwah selama, minimal, tiga hari. Kadang, bisa lebih, tergantung agenda keagamaan dengan komunitasnya tersebut.

Sebelum pergi berdakwah ke suatu daerah, sang bapak akan memberi uang dengan jumlah yang sekiranya cukup untuk kebutuhan Madina dan ibunya selama ditinggalkan. Selain itu, sang bapak juga harus membebaskan dirinya dari utang atau tagihan pembayaran apa pun terlebih dahulu.

Kemudian, selama pergi, dia juga tidak boleh menghubungi keluarganya sama sekali. Madina melihat kepergian sang bapak ketika mengikuti agenda komunitas itu sebagai latihan mengolah jiwa.

Semacam ikhtiar menjauhkan diri dari kehidupan duniawi sebelum menuju keharibaan Tuhan yang abadi. Bila sang bapak pergi, ibunya yang akan mengambil alih seluruh tanggung jawab.

Kadang, jika perginya agak lama, beberapa teman dari komunitas akan berkunjung ke rumah. Memberi kabar perihal keadaan sang bapak kepada Madina dan ibunya. Meski tak jarang pula, mereka membantu dalam hal keuangan. Jika ibunya ikut sang bapak berdakwah, Madina biasanya akan dititipkan ke kerabat terdekat.

Madina ingat, sang bapak pernah berkata bahwa ketika seseorang keluar di jalan Allah, maka Allah-lah yang akan menjaga dia, keluarganya, serta harta bendanya, sehingga dia tidak perlu cemas. Karenanya, sang bapak tidak pernah merasa berat hati jika harus meninggalkan istri dan anaknya untuk waktu yang cukup lama.

Tidak ada yang salah dengan cara beragama keluargaku, batin Madina. Bapaknya tak pernah menghujat mereka yang berasal dari ormas yang sama dengan keluarga Gus Ijal. Meski punya amaliah berbeda, seperti tahlil dan segala macamnya. Memang, di satu sisi, sang bapak sebetulnya tidak begitu kuat pijakan ilmu agamanya.

Sebab dia cuma belajar menggunakan buku dan bukan kitab dengan Arab gundul, seperti Gus Ijal. Itu pun tidak banyak referensi, hanya yang diterbitkan oleh petinggi komunitas sebagai rujukan.

Pada titik inilah, kadang-kadang, Madina merasa bapaknya belum pantas untuk berdakwah. Karena, semestinya, orang memperkuat pijakan dasar agamanya lebih dulu sebelum terjun berdakwah ke tengah masyarakat. Demikian pikir Madina. Meskipun begitu, dia tak pernah tega mematahkan semangat sang bapak yang senantiasa meluap-luap tiap kali hendak mengikuti kegiatan rutin komunitas tersebut.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement