Kamis 13 Feb 2020 13:45 WIB

Safir Biru Penawar Rindu

Seringkali pertemuan singkat melahirkan kerinduan yang begitu hebat.

Cincin biru safir
Foto: tangkapan layar
Cincin biru safir

"Jika ada yang cocok di hati, dan kau tak kuat melawan tikaman jarak, terima saja lamarannya. Kamu tak perlu menanti. Tapi jika kamu sanggup menahan derasnya aliran rindu, aku akan kembali untuk memenuhi janjiku."

"Saya menunggu kamu Mas. Menunggu kamu menyelesaikan studimu dan datang meminangku. Penuhi dulu janjimu kepada ibu, karena surgamu adalah ridho ibumu, dan surgaku kelak adalah ridho dari suamiku."

Wajah Hidayat dihujamkan ke lantai ruang tamu rumah Maemunah. Di ruang itu, Mae yang terus menundukkan pandangan ditemani kakak laki-lakinya, Ustman. Ia adalah sahabat baik Hidayat.

"Baik, kita akan putuskan komunikasi. Biarkan rindu menjadi api pembakar helai-helai ragu," Hidayat pamit pulang ke rumah ibunya yang berjarak tak kurang dari 300 meter dari rumah peninggalan almarhum ayah dan ibu Mae.

Hidayat pergi memenuhi janjinya untuk kuliah lagi ke kota Nabi. Ibunya tak mengepalkan restu saat ia meminta izin melamar Mae, tetangga sekaligus anak sahabat ibunya. Ibu Hidayat mengenal betul siapa Mae. Juara olimpiade matematika, lulusan terbaik pesantren, sholehah, cendayam, dan birrul walidain. Meski begitu, restu ibu tak turun sebelum janji terpenuhi.

"Selesaikan dulu janjimu kepada ibu. Selesaikan S2-mu," kata ibu di mushala rumah usai mereka berdua menyelesaikan qiamulail.

Kuatnya cinta Hidayat untuk ibunda, mengalahkan besarnya keinginan berumah tangga. Ia pendam semua itu sementara, sembari mempertahankan harapan agar tetap membara.

Hidayat berangkat, Maemunah menahan rindu yang hebat. Tiga tahun berjarak tanpa komunikasi, demi menjaga agar hati tak rusak ternodai. Hidayat emoh menjadi durjana. Mae enggan membuat Tuhan murka. Keduanya bersabar, hingga studi Hidayat kelar.

Seringkali pertemuan singkat melahirkan kerinduan yang begitu hebat, Hidayat bergumam sebelum menelepon ibunya di bumi para raja.

"Bu, Assalamualaikum. Alhamdulillah saya lulus. Janji kepada ibu sudah purna. Insya Allah saya akan kembali ke Tanah Air akhir pekan ini."

Di ujung sambungan telepon, kristal cair melarut di pipi keriput. Telepon pintarnya diletakkan di sofa ruang tamu, lalu ibu pergi ke kamar untuk bersalin pakaian.

Sepuluh menit usai Shalat Dzuhur, Hidayat berganti memijit nomor telepon Ustman, kakak Mae. Satu kali, dua kali, tiga kali sambungan tak terangkat. Perbedaan waktu empat jam membuat Hidayat maklum. "Esok pagi saja saya telepon lagi."

Persiapan pulang dan wisuda di kampus membuatnya larut dan lalai memberi kabar. Hingga dalam perjalanan ke bandara untuk pulang, ia kembali mencoba menghubungi Ustman. Kali ini tersambung.

"Assalamualaikum Dab, piye kabarmu? Aku arep ngabari, sesok awan aku tekan kampung, tolong kabari Mae, aku arep menuhi janjiku." (1)

"Wa'alaikumussalam, Dab." Ustman hening sesaat. Menarik nafas, dan berkata hati-hati agar konco kentel'e tak shock mendengar kabar darinya.

"Dab, maaf aku baru ngabari. Mae wingi sore wis ono sing mengkhitbah, dan de'e nerimo." (2)

Telinga Hidayat berontak tak percaya. Hatinya mencoba mencerna aksara demi aksara yang mematikan jiwanya. Ia tutup sambungan telepon tanpa salam. Ia tutup wajahnya beralaskan telapak tangan. Ia malu untuk menangis, tapi air matanya tak peduli dengan semua itu.

Ia sadar, tak ada ikatan apa-apa antara dia dan Mae. Mencintai Mae adalah patah hati yang disengaja. Mencintai adalah tentang keberanian. Menyatakan atau merelakan. Ia sudah berucap kata, jika tak sanggup menanti, Mae diizinkan menyerahkan hati kepada lain laki-laki.

Delapan jam perjalanan di atas langit membuat hatinya berantakan seperti awan Altocumulus yang dia lihat dari jendela burung baja. Ia juga tak bisa menikmati perjalanan dari Bandara Kulonprogo ke Kutoarjo, kampungnya. Sampai taksi daring yang ia sewa berhenti persis di depan pagar anyaman baja. Pukul 11.03. Ditariknya koper merah yang resletingnya masih tergembok.

Pintu pagar dibuka, pintu rumah diketuk, ucapan salam dilafalkan. Hidayat melangkah masuk menggeret beratnya koper dan jantung yang denyutnya tak lagi teratur.

Di ruang tamu rumahnya ibu yang tinggal sendiri sedang duduk di sofa abu-abu ditemani dua orang yang Hidayat kenal. Ustman dan makhluk yang Tuhan ciptakan ketika sedang gembira, Maemunah. Ia duduk di sebelah kiri ibu.

Mata keduanya bertumbukan dua detik, sebelum mereka menunduk. Hidayat membetot paru-parunya agar bekerja lebih ekstra menyedot udara. Ia seka air wajah yang berjam-jam diterpa kemurungan. Hidayat melangkah mendekati ibu, menarik tangan kanan dan menghujami punggung jemari yang kosong tanpa perhiasan dengan ciuman. Takzim. Hidayat lalu duduk di sebelah kanan ibu. Mae di sebelah kiri. Ia tak berani menyapa, sampai ibu buka suara.

"Ustman dan Mae yang membantu ibu menyiapkan makanan. Ada ayam ingkung kesukaanmu di meja makan. Mae yang memasak."

Hidayat tak ragu mengucapkan terima kasih. Tapi ia masih tak berani melepaskan senyuman ke wajah perempuan yang sedari kecil sudah dipuji ibu.

Ibu selalu bilang, Mae adalah sosok perempuan yang ibu yakini bakal menjadi istri penjaga kehormatan suami. Menantu yang menyayangi ibu, dan bunda bagi penerus pejuang agama.

Perempuan yang menangis di depanmu mungkin sangat mencintaimu. Namun, perempuan yang menangis dalam shalat dan doanya karena mengharapkanmu, adalah yang paling pantas menjadi pintu surga bagi anak-anakmu, wejangan ibu suatu petang di pengkolan jalan desa saat dijemput Hidayat sepulang ia mengajar.

"Janjimu kepada ibu sudah terpenuhi. Dan ibu juga sudah melaksanakan ucap kata dengan sahabat ibu."

Hidayat tak mampu mencerna sempurna kalimat yang ibu katakan sembari tersenyum. Matanya sedari tadi sibuk memperhatikan jari manis tangan kiri Mae yang dilingkari cicin emas berbatu safir warna biru. Ia memeras ingatan, sampai ia menemukan jawaban. Cincin itu sama persis seperti cincin perak pernikahan milik almarhum ayahnya yang ia simpan di kotak perhiasan kamar tidurnya.

 

Keterangan:

(1) Assalamualaikum Dab, bagaimana kabarmu? Aku mau mengabari, besok siang aku sampai kampung, tolong kabari Mae, aku mau memenuhi janjiku.

(2) Dab, maaf aku baru mengabari. Mae kemarin sore sudah ada yang mengkhitbah, dan dia menerima.

TENTANG PENULIS

KARTA RAHARJA UCU, saat ini bekerja sebagai wartawan Republika. Pemilik akun Instagram: @kartaraharjaucu dan channel Youtube: Karta Raharja Ucu. Kunjungi blog Karta Raharja Ucu di www.kartaraharjaucu.blogspot.com

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement