REPUBLIKA.CO.ID, Tak lama setelah Haikal memimpin doa kafaratul masjid, ponsel di sakunya berge tar. Haikal langsung keluar dari majelis tanpa meng hiraukan santri-san trinya lagi. Segera panggilan itu diresponsnya.
"Waalaikumussalam warahmah, baik, Pak De, Haikal segera ke sana."
Dengan tergesa-gesa, Haikal menuruni anak tangga pondoknya dengan terlebih dahulu berpamitan kepada mudirpe santren dan satpam yang selalu memberikan anggukan hormat untuknya.
Selang beberapa ratus meter, lelaki lanjut usia, tapi tetap gagah sedang menatapnya. Dalam dada laki-laki itu berkecamuk sejuta rasa manakala melihat Haikal semakin mendekat menghampirinya.
Tanpa sadar, lelaki tua itu berkata sendiri sambil menahan rasa haru yang mendalam. "Maafkan aku, Kang. Baru kali ini aku bawa anakmu. Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu," tuturnya lirih sambil menyeka titik air mata yang merembes di ujung kelopak mata tuanya.
"Assalammualaikum, Pak De," sapa Haikal sambil mencium tangan lelaki itu-- yang ia kenal sebagai Pak De Dadi.
Dengan sedikit terperanjat Pak De Dadi menjawab salam Haikal. Rasa heran pun memancar di mata Haikal. Mengapa Pak De Dadi tidak menjelaskan siapa sesungguhnya orang yang meninggal dan akan dimakamkan pada pagi ini.
Mobil Xenia seri F yang dikemudikan Pak De Dadi berhenti di TPU Kebon Pedes, sebuah tempat permakaman bergengsi di bilangan Kota Bogor. Tampak pelayat berduyun-duyun menghadiri pemakaman tersebut. Di kanan-kiri, terparkir mobil-mobil mewah berpelat merah sampai mobil pribadi.
Masya Allah, semoga Allah mengampuni dosa orang ini. Rupanya orang ini bukan orang biasa. Di antara ratusan pelayat yang menghadiri pemakaman tersebut, terdapat orang-orang penting di kalangan Muspika*) dan Muspida**) Bogor.
"Allahummaghfirlahum war hamhum, kematian terindah dikelilingi dan dihadiri teman serta sanak-saudara. Sepertinya, orang ini amat spesial semasa hidupnya," guman Haikal dalam hati. Tanpa ia sadari, dia sudah semakin dekat dengan pemakaman itu.
Tepat di depan liang lahat, seorang bunda berparas manis sedang mendekap ketiga putrinya. Namun sayang, Haikal harus memalingkan wajahnya. Sebab, selain ketiga gadis itu cantik, pakaian yang mereka kenakan tak biasa Haikal lihat di pondok tempatnya mengabdi. Mereka hanya menutup sebagian rambutnya saja dengan kerudung panjang. Mata Haikal berkeliling menatap sekitar liang lahat itu.
Jantung Haikal berdetak keras saat ia melihat foto dari orang yang akan dimakamkan. Berkali-kali Haikal menggosok matanya. Berkali-kali ia beristighfar dan mencubit pipinya. Serasa ada dalam mimpi.
Mengapa Haikal seperti becermin memandang foto itu? Matanya nanar menatap wajah Pak De Dadi yang tengah mendung.
Belum hilang ragam tanya di dalam dadanya, salah seorang yang memimpin pemakaman tersebut memanggil namanya dan menyandingkan nama Haikal dengan nama almarhum. Ya, nama orang tersebut Muhammad Hisyam Noor, sedangkan Haikal benama Muhammad Haikal bin Muhammad Hisyam Noor.
"Umi...." begitu panggilan batin Haikal menjerit. Tapi, tak berlangsung lama gundah itu berkecamuk di dadanya. Sang pemimpin pemakaman selaku perwakilan keluarga segera meminta Haikal untuk masuk ke liang lahat dan mengumandangkan azan untuk almarhum.
Entah rasa apa yang merasuki Haikal.
Didekapnya erat jenazah itu, diciumnya dengan air mata tertahan. Tak berapa lama kemudian, ia mengumandangkan azan dengan syahdu. "Allahu akbar Allahu akbar...." Serentak hadirin menjawab dan mengikuti azan Haikal sampai selesai.
Perlahan-lahan, tanah merah itu menutup jasad yang baru saja Haikal peluk dengan hangat. Rasa perih menyelinap dalam dada. Bunda dan ketiga gadis itu meratap dengan memanggil, "ayah ...ayah...ayah."
Sampai timbunan tanah itu menggunung, karangan bunga cantik menghiasi tanah merah itu. Dan, salah satu dari gadis itu tumbang di depan Haikal. Segera Haikal menangkapnya. Ada rasa hangat yang sama tatkala ia menangkap tubuh mungilnya. Ditatapnya wajah gadis kecil itu. Semakin membuncah keheranan Haikal manakala menatap matanya sama dengan mata miliknya. Haikal bingung berkecamuk sedih, perih yang semakin menukik di relung hatinya.
"Umi.... Umi yang tahu tentang semua ini," gumamnya.
Satu per satu, para pelayat itu pergi.