Rabu 29 Jan 2020 11:09 WIB

Cerita Cinta dari Kota Multikultural

Kehidupan pasangan Muslim di negara sekuler ini menarik untuk disimak.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Karta Raharja Ucu
Novel Ayesha karya Uzma Jalaluddin.
Foto: tangkapan layar.
Novel Ayesha karya Uzma Jalaluddin.

REPUBLIKA.CO.ID, Apakah cinta bisa hadir setelah menikah? Apakah seseorang bisa begitu saja menerima kehadiran orang baru untuk menjadi rekan seumur hidup? Uzma Jalaluddin mencoba mengemas konsep itu dalam novel berjudul Ayesha At Last yang sudah diterjemahkan dengan judul Love Afer Marriage:From Traditional to Modern Life.

Ini tentang kisah cinta Khalid Mirza dan Ayesha Shamsi, dua Muslim yang tinggal di Toronto yang kerap berbenturan dengan interpretasi yang berbeda tentang agama, kata Uzma dalam peluncuran Love After Marriage: from Traditional to Modern Life di Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Ayesha At Last merupakan buku yang sudah lama ditulis mulai delapan tahun lalu. Banyak hal yang membuat Uzma membutuhkan waktu lama menyelesaikan novel pertamanya itu, seperti mengajar, membesarkan anak, dan lain-lain. Seiring berjalannya waktu, Uzma kembali menyelesaikan lagi novelnya itu.

Buku Ayesha At Last juga berdasarkan pengalamannya sebagai Muslim yang tinggal di Toronto. Khalid yang lebih konservatif selalu membiarkan ibunya mengatur kehi dupannya, termasuk urusan menikah. Sementara, Ayesha yang bercita-cita sebagai penyair sangat mandiri dan lebih fokus pada karier.

Untuk urusan pasangan hidup, Ayesha mencari pasangan lantaran tekanan dari keluarga dan komunitasnya. "Saya ingin menunjukkan bahwa perempuan tidak lagi harus bisa memasak dan tinggal di rumah, tidak lagi seperti itu, apalagi hidup di era modern," ujar Uzma.

Ketika keduanya bertemu dalam sebuah konferensi bersama di masjid, perbedaan pendapat justru menghadirkan daya tarik yang mulai berkem bang. Khalid bingung. Dia teringat pada pesan ibunya bahwa cinta pranikah adalah hal bahaya. Hubungan Khalid dan Ayesha yang terhubung menciptakan tingkat rayuan nonfisik yang baru di dunia barat.

Uzma dengan hati-hati menyajikan romansa yang menggoda bagi pembaca. Hubungan mereka meluap ketika ibunda Khalid menjodohkannya dengan sepupu Ayesha, Heshsa, yang lebih muda dan lebih kaya. Kondisi itu memaksa Khalid dan Ayesha mengakui perasaan masing-masing dengan berbagai perbedaan atau kehilangan satu sama lain demi kebaikan.

Sejatinya, novel tersebut lebih dari sekadar karya romansa. Uzma juga ingin menunjukkan dan memvalidasi pengalaman banyak orang Asia Selatan dan Muslim saat ini. Meskipun topik pernikahan paling menonjol, novel itu juga menjadi saluran menunjukkan perdebatan tentang hidup, tradisi, dan perubahan di antara generasi yang berbeda. Dengan menyoroti perbedaan ideologis antara banyak karakter Muslim, Uzma membantu meluruskan kesalahpahaman bahwa semua Muslim sama.

Salah satu yang ditunjukkan adalah karakter Amir, teman baik Khalid. Amir sangat berbeda jauh de ngan Khalid karena dia suka keluar malam, minum-minum, serta pu lang dengan wanita berbeda setiap malam. Amir bisa berbaur dengan orang-orang di Kanada. "Saya menyertakan itu karena tidak semua Muslim sama. Negara non-Muslim memiliki patokan bagaimana Muslim, kami ingin meluruskan hal itu," kata Uzma.

Kanada adalah negara sekuler. Kebanyakan orang tidak perlu diidentifikasi sebagai Kristen, Yahudi, atau apa saja. Jadi, sangat umum bagi orang-orang di negara itu untuk berkencan selama bertahun-tahun tanpa tujuan dan sering kali bersama dan mereka mungkin tidak pernah menikah.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement