REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masjid Raya Xi’an dibangun oleh Kaisar Xuanzong untuk menghormati sebagian penduduk Xi’an yang menganut agama Islam. Dokumen sejarah mencatat, masuknya Islam ke wilayah Cina saat ini melalui dua jalur. Jalur pertama, melalui perdagangan sutra dari Asia barat ke Xi’an yang saat itu disebut sebagai Chang’an lalu ke Xinjiang Uyghur, sebuah daerah otonomi.
Jalan lainnya adalah melalui Samudera Hindia ke daerah tenggara Cina. Jalur kedua ini banyak ditempuh oleh para pedagang Muslim pada saat Cina berada di bawah kekuasaan Dinasti Sing (960-1279). Ajaran Islam diperkirakan mulai masuk dan berkembang di wilayah Cina pada abad ke-5 Masehi.
Dari catatan sejarah tersebut bisa diketahui bahwa Xi’an merupakan salah satu kota tertua di Cina. Kota Xi’an memiliki sejarah lebih dari 3.000 tahun dan dikenal sebagai Chang’an sebelum era Dinasti Ming. Kota ini telah menjadi pusat pemerintahan dari banyak dinasti Cina yang paling berpengaruh, seperti Zhou, Qin, Han, Sui, dan Tang.
Sebagai wilayah yang dilalui oleh jalur perdagangan sutera, tak mengherankan jika Xi’an berkembang menjadi salah satu kota di Cina dengan jumlah penduduk Muslim terbanyak, selain Kota Xinjiang dan Henan. Data terakhir menyebutkan, dari keseluruhan jumlah penduduk Xi’an yang diperkirakan 7 juta jiwa, sekitar 60 ribu hingga 80 ribu orang di antaranya merupakan pemeluk Islam.
Mayoritas Muslim yang bermukim di Kota Xi’an adalah suku Hui. Karena itu, di wilayah Xi’an terdapat sebuah perkampungan Muslim yang dikenal dengan nama Hui Min Jie.
Dalam laman Wikipedia disebutkan bahwa suku Hui adalah hasil asimilasi dan merupakan keturunan dari suku Han dengan bangsa Persia dan Arab sejak zaman Dinasti Tang. Sekitar abad ke-7, para pedagang Persia dan Arab mulai memenuhi kantong-kantong perdagangan di Cina. Para pedagang yang datang melalui jalur sutera, biasanya menetap di Chang’an dan sekitarnya.
Sedangkan yang datang melalui jalur laut menetap di daerah Quanzhou dan Zhangzhou di pesisir Fujian. Mereka inilah yang kemudian berasimilasi dengan suku Han dan menurunkan suku Hui.
Secara fisik, suku Hui tidak berbeda dengan suku Han. Yang membedakan keduanya hanyalah cara hidup suku Hui yang beragama Islam. Mereka menjalankan syariat Islam, tetapi bergaya Konfusianis. Hal ini pula membedakan suku Hui dari suku Uyghur, yang sama-sama memeluk agama Islam, tetapi lebih bernapaskan Islam Asia Tengah.
Cheng Ho
Sejarah mencatat sejumlah nama besar berasal dari suku Hui. Satu di antaranya adalah Cheng Ho (Zheng He). Majalah Life menempatkan Cheng Ho di nomor 14 sebagai orang terpenting dalam milenium terakhir.
Cheng Ho berasal dari Provinsi Yunnan. Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap kemudian dijadikan kasim kerajaan. Pada masa pemerintahan Kaisar Yongle (kaisar ketiga dari Dinasti Ming yang berkuasa tahun 1403-1424), ia diangkat menjadi orang kepercayaan kaisar.
Sejarah juga mencatat bahwa Cheng Ho sebagai seorang pelaut dan penjelajah Cina terkenal yang melakukan beberapa pengembaraan antara tahun 1405 hingga 1433. Dalam kurun waktu tersebut, ia telah melakukan ekspedisi ke berbagai daerah di Asia dan Afrika, antara lain Vietnam, Taiwan, Malaka (bagian dari Malaysia), Sumatra, Jawa, Sri Lanka, India bagian selatan, Persia, Teluk Persia, Arab, Laut Merah, Mesir, Afrika, dan Selat Mozambik.
Perjalanan Cheng Ho ini menghasilkan Peta Navigasi Cheng Ho yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini, terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan.