REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perannya terhadap peradaban Islam sangat besar. Berkat perjuangannya, Yerusalem jatuh ke tangan kaum Muslimin. Dialah Shalahuddin Al Ayyubi, seorang sultan yang juga panglima perang.
Banyak orang mengira Shalahuddin orang asli Arab. Padahal, ia merupakan pria dari kalangan non- Arab atau 'ajam, tepatnya dari suku Kurdi. Sang sultan lahir pada 1138 Masehi di Kota Tikrit, Irak. Kota yang terletak antara Baghdad dan Mosul.
Namun, karena suatu alasan, ayahnya, yaitu Najmuddin Ayyub harus meninggalkan Tikrit setelah kelahiran Shalahuddin. Hal itu membuat sang ayah berpikir, kelahiran putranya ini menyusahkannya.
Dari Tikrit, keluarga tersebut berjalan menuju Mosul. Di sana, Najmuddin tinggal bersama pemimpin besar Imaduddin Az Zanki. Dengan begitu, Shalahuddin tumbuh di lingkungan baik dan sangat mencintai jihad. Di sana, dia belajar menunggang kuda, menggunakan senjata, sekaligus mempelajari Alquran, menghafal hadis, belajar sastra, serta keilmuan lainnya.
Shalahuddin kemudian datang ke Mesir. Sebelum kedatangannya, Mesir merupakan wilayah kekuasaan Daulah Fathimiyah. Sayangnya, lama-kelamaan, kerajaan tersebut berjalan tidak stabil, terjadi pergolakan di dalam negerinya.
Saat itu, paman Shalahuddin, yakni Nuruddin Mahmud melihat peluang untuk menaklukkan Fathimiyah. Ia menilai, penaklukkan Daulah Fathimiyyah merupakan jalan membebaskan Yerusalem dari kekuasaan Perang Salib.
Setelah Fathimiyah berhasil diruntuhkan, Shalahuddin lalu ditunjuk menjadi menteri di wilyah Mesir. Tidak menjabat lama, dua bulan kemudian, Shalahuddin diangkat sebagai wakil dari Khalifah Dinasti Ayyubiyah. Sebelum menaklukkan Yerusalem, Shalahuddin melakukan sejumlah persiapan, baik materi maupun nonmateri. Keimanan serta kesatuan umat juga ia jaga supaya mampu menghadapi Pasukan Salib.
Shalahuddin bertekad membebaskan Yerusalem agar tanah para nabi tersebut bebas dari kesyirikan. Tekad itu makin kuat ketika dia terkena sakit parah. Maka, setelah sembuh, Shalahuddin mewujudkan niatnya melawan tentara Salib.
Ia berhadapan langsung dengan salah satu pemimpin penting tentara Salib, Balian de Ibelin. Pertempuran antara pasukan Salib dan pasukan Shalahuddin dimenangkan pihak Shalahuddin tanpa waktu lama.
Sang panglima kemudian meminta Balian menyerahkan Yerusalem kepada kaum Muslimin dengan beberapa penawaran. "Aku akan mengantarkan tiap-tiap jiwa (orang) kalian (umat Kristen) dengan aman ke wilayah-wilayah Kristen, setiap jiwa dari kalian, wanita, anak-anak, orang tua, seluruh pasukan, tentara, serta ratu kalian. Aku akan mengembalikan raja kalian dan pada apa yang Tuhan kehendaki atasnya. Tidak satu pun dari kalian akan disakiti. Aku bersumpah," tegas Shalahuddin.
Balian sempat ragu dengan tawaran Shalahuddin karena sebelumnya Pasukan Salib membantai setiap Muslim di kota itu. Hal itu membuat Balian khawatir Shalahuddin akan balas dendam.
Namun, dengan tegas, Shalahuddin menyatakan, "Aku bukan orang-orang pembantai itu. Aku adalah Shalahuddin." Mendengar jawaban tersebut, Balian akhirnya menerima tawaran Shalahuddin dan menyerahkan Yerusalem kepada umat Islam.