REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan telah membuat revisi undang-undang pajak penghasilan (PPh) sebagai langkah awal penurunan besaran tarif PPh Badan perusahaan dari 25 ke 20 persen. Namun, sebelum revisi tersebut disahkan, pemerintah dinilai lebih baik membenahi implementasi 16 paket kebijakan ekonomi yang telah ada saat ini.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, fokus terhadap 16 paket kebijakan tersebut lebih dibutuhkan untuk mendorong perekonomian dari segi pelaku usaha. Selama ini, belasa paket kebijakan itu belum memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian.
"Bukan karena paket kebijakan yang ada terlalu sedikit. Tapi pengawasan dan implementasi di lapangan lemah," kata Bhima kepada Republika.co.id, Ahad (14/7).
Bhima berpendapat, proses implementasi penurunan PPh Badan seperti yang diinginkan pemerintah juga diyakini bakal berlangsung alot. Sebab, mekanisme perubahan undang-undang harus dilakukan bersama DPR.
Kendati pun undang-undang PPh yang baru disahkan pada 2020 mendatang, efektif pelaksanaan secara normal baru dapat dilakukan pada tahun 2021. Ia menyebut, jika pemerintah ingin pemangkasan PPh Badan dilakukan dalam waktu cepat, setidaknya bisa dilakukan dengan membuat peraturan yang bersifat Omnibus Law. Cara tersebut, bisa dilakukan tanpa melalui proses RUU ke DPR.
Namun, ia menegaskan, pemangkasan PPh Badan dipastikan menurunkan penerimaan tahun depan jika memang dapat diberlakukan. Hal itu, akan memberatkan bahkan mustahil untuk mencapai target rasio pajak sebesar 12 persen dari PDB pada tahun depan.
Dampak lain yang bisa dihadapi yakni melebarkan defisit anggaran pada tahun 2021. "Artinya, insentif penurunan PPh Badan berisiko melebarkan defisit anggaran," ujarnya.