REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- pelaku instri menyatakan menolak peraturan pemerintah, baik pusat maupun daerah terkait pelarangan penggunaan plastik kemasan. Para pelaku industri produsen dan pengguna plastik yang tergabung dalam Forum Lintas Asosiasi Industri Produsen dan Pengguna Plastik (FLAIPPP) menilai hal itu tidak sesuai dengan Peraturan Perundangan Persampahan, selain juga tidak tepat sasaran karena akan merugikan masyarakat (konsumen).
Tidak hanya itu, pelarangan itu juga bisa menurunkan pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan penerimaan negara. Anggota Apindo Rachmat Hidayat menyebut persoalan utama sampah plastik di Indonesia sebenarnya adalah belum adanya pengelolaan yang baik. Padahal dari sisi peraturan perundangannya sebetulnya sudah sangat lengkap, dan tinggal impementasinya saja yang kurang.
Ia juga mengatakan plastik kemasan produk industri (makanan, minuman, farmasi, minyak, kimia, dan sebagainya) tidak dapat dipisahkan dari produk yang dikemas di dalamnya. “Jadi melarang peredaran plastik kemasan produk berarti melarang peredaran produk yang dikemas dalam plastik kemasan tersebut,” kata Rachmat Hidayat beberapa waktu lalu.
Rachmat, produk-produk tersebut sudah dikendalikan dan diawasi oleh kementerian/lembaga yang terkait sesuai dengan sektornya masing-masing. Contohnya produk makanan dan minuman serta farmasi berada di bawah pengawasan BPOM dan Kementerian Kesehatan. Sedangkan produk pestisida berada di bawah pengawasan Kementerian Pertanian serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ITB, dan Solid Waste Indonesia (SWI) terhadap laju daur ulang sampah plastik, Indonesia sudah melakukan 62 persen daur ulang botol plastik. Angka tersebut bahkan terbilang tinggi jika dibandingkan dengan negara besar seperti Amerika yang hanya 29 persen, dan rata-rata Eropa 48 persen.
Jika pelarangan terhadap plastik kemasan ini terus berlanjut, hal itu akan sangat berdampak terhadap perekonomian Indonesia. Karena, mau tidak mau, itu akan sangat berdampak terhadap industri yang banyak menggunakan wadah dari plastik.
Salah satunya adalah industri makanan dan minuman (mamin) yang memberikan kontribusi yang tinggi terhadap PDB Non Migas Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilainya mencapai 19,86 persen atau Rp 1.875 triliun pada 2018 dan tumbuh sebesar 7,91 persen pada akhir 2018.
Dampak lanjutan dari penurunan pertumbuhan industri mamin dan kemasan plastik jelas akan berpotensi menurunkan jumlah lapangan kerja nasional secara signifikan. Data BPS 2014 menunjukkan tenaga kerja langsung pada industri mamin ini sebanyak 3.887.773 orang. Hal ini tentu saja akan menjadi beban bagi pemerintah dan ekonomi nasional. Karena, berdasarkan data INDEF dan BPS 2015, dari sisi penerimaan negara, penurunan pertumbuhan industri mamin sebesar 1,76 persen akan berpotensi menurunkan penerimaan sekitar Rp 6,79 triliun.
Apalagi dengan adanya rencana pengenaan cukai pada plastik kemasan industri, jelas ini akan semakin memukul industri yang jelas-jelas menjadi penyumbang tertinggi bagi PDB ini. Pelaku industri mamin juga menilai kebijakan ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pengenaan cukai menurut peraturan perundangan dan tidak tepat sasaran.
Apindo juga melihat perlunya kehadiran Pedoman Cara Produksi Kemasan Pangan Plastik Poly Ethylene Terephtalate (PET) Daur Ulang Yang Baik dari pemerintah, dalam hal ini Kemenperin. “Pedoman itu tidak hanya akan mendukung komitmen kami pelaku industri kemasan plastik, tetapi akan memotivasi industri lain untuk menggunakan kemasan PET daur ulang sehingga dapat mengurangi timbunan sampah plastik kemasan,” kata Rachmat.
Rancangan Peraturan Pedoman itu dalam rangka mengoptimalkan penggunaan plastik kemasan dan upaya mengatasi sampah plastik, terutama pada industri makanan dan minuman. “Maka penting adanya perubahan mekanisme dalam menangani plastik sisa kemasan di masyarakat,” kata dia lagi.