Senin 15 Jul 2019 09:22 WIB

DPR Tunggu Permintaan Amnesti Baiq Nuril dari Presiden

PKS optimistis DPR memberikan persetujuan amnesti.

Terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE), Baiq Nuril Maknun menyeka air mata saat menjawab pertanyaan wartawan pada Forum Legislasi bertema 'Baiq Nuril Ajukan Amnesti , DPR Setuju?' di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (10/7/2019).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE), Baiq Nuril Maknun menyeka air mata saat menjawab pertanyaan wartawan pada Forum Legislasi bertema 'Baiq Nuril Ajukan Amnesti , DPR Setuju?' di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (10/7/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR menunggu permintaan pertimbangan pemberian amnesti terhadap Baiq Nuril dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Sampai saat ini permintaan dari Presiden tersebut belum diajukan kepada DPR.

"Setahu saya belum (menerima permintaan pertimbangan untuk pemberian amnesti)," ujar anggota Ko misi III DPR, Arsul Sani, melalui pesan singkat kepada Republika, Ahad (14/7).

Arsul menambahkan, DPR dalam posisi menunggu permintaan pertimbangan itu disampaikan oleh Presiden. Hal itu berdasarkan mekanisme peraturan perundang-undangan, yakni Pasal 14 Undang-Un dang Dasar (UUD) 1945.

Pada Ayat 2 Pasal 14 UUD 1945 disebutkan, per mohonan amnesti dan abolisi menjadi kewenangan presiden selaku kepala negara. Sebelum presiden memutuskan apakah amnesti itu akan dikabulkan atau ditolak, ia terlebih dahulu perlu mendengar atau memperhatikan pendapat atau pertimbangan dari DPR.

"DPR menunggu karena itulah mekanismenya. Sikap proaktif disuarakan via media tentunya, tapi bukan dengan mengirim surat minta Presiden segera minta pertimbang an DPR," katanya.

Anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, optimistis DPR pasti memberikan persetujuan terkait pemberian amnesti kepada terpidana kasus Undang-Undang Informasi dan Teknomogi Informasi (ITE) tersebut. Menurut dia, amnesti merupakan bentuk tanggung jawab negara kepada warganya yang menilai putusan pengadilan tidak berpihak kepada kebenaran. "Sepengetahuan saya, walaupun tanpa diminta, DPR pasti memberikan persetujuan terkait amnesti Baiq Nuril," ujar Nasir, Ahad (14/7).

Ia mengatakan, pemberian amnesti itu merupakan bentuk tanggung jawab negara kepada warganya, yakni warga yang menilai putusan pengadilan tidak berpihak kepada kebenaran dan kemanfaatan hukum. Menurut dia, pemberian amnesti tidak perlu dilakukan secara tergesa- gesa. "Karena itu, amnesti haruslah dihadapi dengan tenang," kata dia.

Ia mengaku belum mengetahui secara pasti Presiden Jokowi telah menerima surat permohonan amnesti yang diberikan oleh Baiq Nuril atau belum. Jika memang sudah, kata dia, Presiden akan mengirim kan surat ke DPR dalam waktu yang tidak lama. "Tentu dalam waktu yang tidak lama Presiden akan me ngirim surat ke DPR guna meminta pertimbangan terkait pemberian amnesti tersebut,"kata dia.

Sebelumnya, Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyara kan agar Jokowi mempertimbangkan untuk memberikan amnesti kepada Baiq Nuril. Politikus Partai Golongan Karya (Golkar) tersebut menilai Baiq Nuril hanya sebagai korban pasal karet dalam kasus UU ITE. "Tidak ada salahnya kalau Presiden memberikan pertim bangan untuk memberikan peng am punan kepada warga negara kita yang bernama Baiq Nuril," kata Bamsoet.

photo
Amnesti Baiq Nuril

Catatan ICJR

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat sejumlah poin yang dinilai salah saat Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) Baiq Nuril. ICJR menilai, dalam pertimbangannya, MA gagal mencermati fakta-fakta persidangan.

"MA gagal mencermati fakta di pengadilan tingkat pertama dan gagal dalam memahami konstruksi Pasal 27 (1) UU ITE," kata Di rektur Eksekutif ICJR, Anggara, dalam keterangan tertulisnya, Ahad (14/7).

Anggara menjelaskan, UU ITE berbunyi bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

Dalam konstruksi pasal tersebut, Anggara melanjutkan, yang harus menjadi perhatian adalah tindakan yang dilarang berupa distribusi, transmisi, dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan atau dokumen elektronik. "Bukan melakukan perekaman," kata Anggara.

Karena itu, menurut Anggara, fokus dalam pemeriksaan perkara ini oleh MA di tingkat PK seharusnya adalah apakah benar Nuril melakukan distribusi, transmisi, dan membuat dapat diaksesnya suatu informasi elektronik yang bermuatan kesusilaan. Hal ini kemudian coba dijawab oleh MA dalam poin keempat pertimbangannya.

"Namun, justru di sinilah MA mela kukan kesalahan dalam meng anali sis alat bukti yang dihadirkan di persidangan tingkat pertama," ujar Anggara.

Menurut Anggara, di dalam pemeriksaan tingkat kasasi, majelis hakim sama sekali tidak menyinggung masalah alat bukti elektronik ini. Padahal, masalah pembuktian di dalam perkara yang diadili berdasarkan ketentuan di dalam UU ITE adalah hal yang paling penting untuk kemudian diperhatikan.

"Pertimbangan MA yang menyatakan bahwa karena tidak ada keberatan dari Ibu Nuril sejak awal diperdengarkannya rekaman pembicaraan di pengadilan tidaklah relevan sama sekali di dalam perkara ini dan telah melenceng dari permasalahan hukum yang sebe narnya harus di jawab di dalam pemeriksaan PK per kara ini," kata Anggara menegaskan. (ronggo astungkoro/arif satrio nugroho, ed:agus raharjo)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement