REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menuturkan, meningkatkan penerimaan melalui ekonomi digital masih menjadi tantangan bagi sejumlah negara. Tidak hanya Indonesia, juga negara maju. Oleh karena itu, topik ini turut dibicarakan dalam forum sidang tahunan G20 di Jepang beberapa waktu lalu.
Sri menjelaskan, tantangan perpajakan di era ekonomi digital harus diantisipasi pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam menyusun regulasi. Tidak terkecuali dalam rancangan undang-undang perpajakan.
Sri mengakui, tantangan yang ada turut berdampak pada realisasi penerimaan perpajakan. Saat ini, ia menilai, realisasi yang ada masih rendah dan belum mencerminkan potensi sesungguhnya.
"Termasuk potensi penggunaan internet e-commerce dan jumlah penduduk Indonesia," ujarnya dalam peringatan Hari Pajak 2019 di kantor DJP, Jakarta, Senin (15/7).
Salah satu tantangan yang dimaksud Sri adalah skema pungutan pajak. Di era ekonomi digital, para pelaku usaha tidak perlu berada di suatu negara untuk dapat memperoleh penghasilan. Artinya, kehadiran fisik atau physical presence tidak dapat dijadikan sebagai dasar perhitungan dan penarikan pajak lagi, terutama untuk perusahaan digital.
Oleh sebab itu, Sri menambahkan, skema baru yang menggunakan kehadiran ekonomis atau economic presence sebagai dasar harus mulai diperhitungkan. Melalui skema ini, negara dapat mengenakan pajak kepada perusahaan asing yang mendapatkan keuntungan dari negara tersebut.
Fokus dunia saat ini adalah melakukan definisi ulang dari bentuk Badan Usaha Tetap (BUT) atau permanent establishment menjadi significant economic presence. "Ini tantangan nyata yang harus dipahami seluruh jajaran DJP, baik pimpinan dan pelaksana," kata Sri.
Sri menuturkan, konsep ini sedang difinalkan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/ OECD). Tahapnya akan disampaikan dalam G20 pada tahun depan.
Poin kedua yang turut menjadi fokus adalah memerangi tax avoidance, terutama di tax heaven country atau yurisdiksi yang memiliki rate pajak nol atau hampir tidak ada. Sri menjelaskan, akan ada prinsip minimum taxation (nilai pajak minimal) yang harus dibayar wajib pajak (WP) agar tidak pergi ke yurisdiksi tersebut. "Nantinya menimbulkan erosi dari basis pajak negara itu," ujar Sri.
Di sisi lain, Automatic Exchange of Information (AEoI) terus dijalankan. Dengan akses ini, Sri menilai, upaya pemerintah berbagai negara untuk menarik pajak dari ekonomi digital akan semakin konsisten. Sebab, informasi yang diperoleh DJP di suatu negara akan sama dengan DJP di negara lain.
Hal tersebut akan menyebabkan konsistensi data mengenai potensi dan realisasi pajak semakin terpenuhi. Dengan hal ini, diharapkan akan muncul basis pajak yang lebih adil. "Tidak ada lagi istilah wajib pajak yang menghindari dan menghilangkan track pajak ke luar negeri," ucapnya.
Sri menekankan, kerja sama internasional akan menjadi tulang punggung dari persetujuan mengenai treatment tax ekonomi digital secara internasional. Sebab, ekonomi digital merupakan aspek yang tidak mungkin hanya beredar di satu negara atau yurisdiksi, melainkan lintas batas sehingga harus ditangani secara bersama.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Robert Pakpahan menuturkan, Indonesia akan terus melakukan pengawalan terhadap isu pajak ekonomi digital. Termasuk dengan rutin memberikan pandangan dan masukan dalam forum internasional seperti G20 dan OECD.
Tapi, Robert menuturkan, Indonesia belum menentukan langkah lebih lanjut sebelum ada keputusan yang dihasilkan dalam forum G20 tahun depan ataupun lingkup OECD. "Kita harus lihat dulu jenis keputusannya," ucapnya.
Sebenarnya, setiap negara memiliki hak untuk memiliki kebijakan tersendiri. Namun, Robert mengatakan, pemerintah kini tengah melakukan kajian terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dibutuhkan atau tidak. Kalaupun dibutuhkan, ia memastikan bahwa kebijakan yang dibuat pemerintah Indonesia akan sejalan dengan model keputusan forum internasional.