REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Arab Saudi, Rusia, dan 35 negara lainnya telah menulis surat kepada Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB yang menyatakan mendukung kebijakan Cina di Provinsi Xinjiang. Hal itu cukup berseberangan dengan kritik yang diembuskan Barat terhadap Beijing terkait dugaan pelanggaran HAM di wilayah tersebut.
Selain Saudi dan Rusia, surat yang berhasil dilihat Reuters itu turut ditandatangani duta besar dari Korea Utara (Korut), Venezuela, Kuba, Belarus, Myanmar, Filipina, Suriah, Pakistan, Oman, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan sejumlah negara Afrika. Dalam surat tersebut, mereka mengapresiasi Cina dalam menangani isu terorisme di Xinjiang.
“Menghadapi tantangan besar terorisme dan ekstremisme, Cina telah melakukan serangkaian tindakan antiterorisme dan deradikalisasi di Xinjiang, termasuk mendirikan pusat-pusat pendidikan dan pelatihan kejuruan,” kata surat itu.
Dalam surat itu dikatakan keamanan telah kembali ke Xinjiang. HAM orang-orang dari semua kelompok etnis di sana pun telah dilindungi.
Surat tersebut turut menjelaskan tidak ada serangan teror yang terjadi di Xinjiang selama tiga tahun terakhir. Masyarakat di sana menikmati kebahagiaan dan keamanan yang lebih kuat.
Para peserta didik kamp pendidikan vokasi etnis Uighur di Kota Kashgar, Daerah Otonomi Xinjiang, Cina, berolahraga di lapangan voli pelataran asrama.
Belum ada pernyataan lanjutan dari negara-negara terkait perihal surat tersebut. Namun, pada Jumat pekan lalu, Duta Besar Cina untuk PBB Li Song membantah tudingan negaranya melakukan pelanggaran HAM di Xinjiang. Dia pun mengucapkan terima kasih kepada negara-negara yang mendukung kebijakan China di wilayah tersebut.
Pemerintah Cina menghadapi tekanan internasional karena dituding menahan lebih dari satu juta Muslim Uighur di kamp-kamp konsentrasi di Xinjiang. Tak hanya menahan, Beijing disebut melakukan indoktrinasi terhadap mereka agar mengultuskan Presiden Cina Xi Jinping dan Partai Komunis Cina.
Pemerintah China membantah tuduhan tersebut. Menurutnya, apa yang dibangun di Xinjiang adalah pusat reedukasi dan pelatihan vokasi. Cina mengklaim kehadiran pusat tersebut penting untuk menghapus kemiskinan di Xinjiang.
Beijing pun mengklaim para peserta telah menandatangani perjanjian menerima pelatihan vokasi tersebut. Namun, banyak pihak meragukan klaim Cina. Hal itu terutama disebabkan keengganan Cina memberi kemudahan akses bagi dunia internasional untuk berkunjung ke Xinjiang.