REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Maukah kamu sekalian, aku kabarkan amalan-amalan yang terbaik, amalan yang terbersih di sisi Allah dan paling meninggikan derajat kalian. Lebih baik dari memerangi musuh dengan menghantam batang leher mereka, lalu mereka pun menebas batang lehermu, dan malah lebih baik dari emas dan perak? Para pendengarnya menjulurkan kepala mereka ke depan karena ingin tahu, lalu bertanya, "Apakah itu wahai, Abu Darda?"
Sang alim berkata, amalan itu adalah berzikir. Ahli hikmah yang mengagumkan ini bukannya menganjurkan orang menganut filsafat dan meng asingkan diri. Ia juga tidak bermaksud menyuruh orang meninggalkan dunia. Tidak juga mengabaikan hasil agama ini yang telah dicapai dengan jihad fisa bilillah.
Abu Darda bukanlah tipe orang semacam itu karena ia telah ikut berjihad mempertahankan agama Allah bersama Rasulullah SAW hingga datangnya pertolongan Allah dengan pembebasan dan kemenangan merebut Kota Makkah. Sang alim ini adalah sosok yang telah dirasuki kerinduan melihat hakikat. Ia menyerahkan diri secara bulat kepada Allah berada di jalan lurus hingga mencapai tingkat kebenaran yang teguh.
Ya, dia merupakan salah seorang sahabat Rasulullah yang telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan iman yang teguh. Karena bagi dia beriman berarti melakukan kewajiban dan memahaminya sebagai jalan utama untuk mencapai hakikat keimanan.
Abu Darda dikenal sebagai orang yang sangat mampu mengekang hawa nafsu. Bahkan, tingkatannya tertinggi dibanding orang biasa pada umumnya. Tidak heran jika banyak orang yang melihat wajahnya bercahaya terutama di sekitar kening. Bahkan, ketika dia berlalu, harum semerbak bertiup dari arahnya. Orang memahaminya sebagai cahaya hikmah dan harumnya iman.
Pernah ibunya ditanyai orang tentang amalan yang sangat disenangi Abu Darda. Sang ibu menjawab, Tafakur dan mengambil iktibar. Ini karena dia selalu mendorong teman-temannya untuk merenung dan memikirkan kata-kata sebelum diucapkan. Bagi dia, berpikir, bertafakur satu jam lebih baik daripada beribadah satu malam. Dan sesungguhnya beribadah dan bertafakur dan mencari hakikat dilakukan sepanjang hidupnya.
Saat memeluk Islam dan berbaiat pada Rasulullah SAW, Abu Darda seorang saudagar kaya. Sebelum memeluk Islam, ia telah menghabiskan sebagian be sar umurnya dalam perniagaan, bahkan sampai Rasulullah dan kaum Muslimin lainnya hijrah ke Madinah. Tidak lama setelah memeluk Islam, kehidupannya berbalik arah.
Setelah memeluk Islam, dia berharap mampu melaksanakan ibadah sambil tetap berniaga. Namun, dalam kenyataannya, dia tidak mampu menyeimbangkan keduanya. Lalu dia mengesampingkan usahanya dan mulai lebih fokus beribadah.
"Dia tidak bahagia, meski mendapatkan 300 dinar setiap harinya. Aku tidak mengharamkan jual-beli. Hanya, aku pribadi lebih menyukai diriku termasuk dalam golongan orang yang perniagaan dan jual-beli itu tidak melalaikannya dari zikir kepada Allah, ujarnya.
Ia mengimbau manusia untuk memanfaatkan kehidupan duniawi tanpa terikat padanya. Mengambil yang ada di dalamnya sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tidak berfoya-foya dan larut dalam kenimatan materi di dalamnya. Itulah cara pemilikan hakiki. Adapun keinginan hendak menguasainya secara serakah takkan pernah ada kesudahan. Maka yang demikian adalah seburukburuk corak penghambaan diri.
Saat itu ia juga berkata, Barang siapa yang tidak pernah merasa puas terhadap dunia, tak ada dunia baginya. Bagi Abu Darda, harta hanyalah alat bagi kehidupan yang bersahaja dan sederhana, tidak lebih. Berpijak dari sini, ma nusia hendaknya mengusahakannya dengan cara yang halal dan mendapatkan nya secara sopan dan sederhana, bukan dengan kerakusan dan mati-matian.
"Jangan kau makan, kecuali yang baik. Jangan kau usahakan kecuali yang baik. Dan jangan kau masukkan ke rumah mu, kecuali yang baik! ujarnya. Menurut keyakinannya, dunia dan seluruh isinya hanya semata-mata pin jaman dan menjadi jembatan untuk menyeberang menuju kehidupan yang abadi.
Pada suatu hari, para sahabat menjenguknya ketika ia sakit. Mereka mendapatinya terbaring di atas hamparan dari kulit. Mereka menawarkan kepadanya agar kulit itu diganti dengan kasur yang lebih baik dan empuk.
Tawaran ini dijawabnya sambil memberi isyarat dengan telunjuk, sedangkan kedua bola matanya menatap jauh ke depan. Kampung kita nun jauh di sana, untuknya kita mengumpulkan bekal. Ke sana kita akan kembali. Kita akan berang kat kepadanya dan beramal untuk bekal di sana.
Pernah satu ketika Yazid bin Mu'awiyah, putra Khalifah Umayyah, datang melamar anaknya, tapi ditolak. Abu Darda justru menikahkan putrinya dengan seorang lelaki miskin tapi saleh. Dia pun memberikan alasan kepada banyak orang mengapa dia tidak menikahkan anaknya dengan pembesar. Dia khawatir akan agamanya ketika dikelilingi pelayan dan pengasuh karena terpedaya dengan keme wahan istana.
Bagi dia, kebaikan bukanlah karena banyaknya harta dan anak keturunan. Namun, kebaikan yang sesungguhnya ada lah jika makin besar rasa santun, bertambah ilmu, dan berlomba-lomba untuk beribadah kepada Allah.