REPUBLIKA.CO.ID, LOMBOK -- Pemerintah Provinsi (Pemprov) Nusa Tenggara Barat (NTB) merespons hasil laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTB yang menyebut persentase penduduk miskin terhadap total penduduk atau P0 di NTB pada Maret 2019 sebesar 14,56 persen. Angka ini menurun 0,07 persen poin dibandingkan September 2018 yang sebesar 14,63 persen.
Pemprov NTB menyatakan, selama ini tetap fokus pada upaya-upaya untuk menurunkan angka kemiskinan di daerah ini. Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTB Najamuddin menjelaskan, Pemprov NTB pascagempa sering diasumsikan dengan daerah yang terpuruk dari sejumlah sektor, salah satunya terkait kemiskinan.
Namun berdasarkan perhitungan yang dilakukan BPS NTB dari September 2018 – Maret 2019, persentase penduduk miskin terhadap total penduduk di NTB justru menurun meskipun tipis. Pendekatan dasar untuk menghitung kemiskinan adalah kebutuhan atas makanan dan kebutuhan dasar non makanan.
Terkait dengan hal ini, masyarakat NTB pascagempa banyak menerima bantuan makanan dan nonmakanan dari berbagai kalangan. Menurut dia, ini membuat NTB terhindar dari kekurangan makanan yang bisa berpengaruh pada naiknya angka kemiskinan.
Ia mengatakan, optimisme pemerintah daerah untuk terus menurunkan angka kemiskinan di NTB tetap dibangun. Intervensi anggaran dari APBD terutama di sektor-sektor yang menjadi penyusun garis kemiskinan ini akan dilakukan dalam rangka menurunkan angka kemiskinan secara berkelanjutan.
“Kita memiliki daya tahan, karena pasokan makanan dan non makanan selama pascagempa tetap mengalir dari banyak pihak. Sehingga angka 0,07 persen ini harus disikapi sebagai optimisme kita. Saat kita terpuruk pun kita masih bertahan di angka 0,07 persen poin itu,” kata Najamuddin Amy, Senin (15/7).
Kepala Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi NTB Najamuddin Amy (kedua kiri) saat menanggapi laporan BPS NTB, Senin (15/7).
Kabid Statistik Sosial BPS Provinsi NTB, Arrief Chandra Setiawan mengatakan, selama September 2018 – Maret 2019, garis kemiskinan naik sebesar 3,03 persen, yaitu dari Rp 373.566,- per kapita per bulan pada September 2018 menjadi Rp 384,880,- per kapita per bulan pada Maret 2019.
“Peranan komoditi makanan terhadap garis kemiskinan jauh lebih besar dibandingkan peranan komoditi bukan makanan. Pada Maret 2019, komoditi makanan menyumbang sebesar 74,54 persen pada garis kemiskinan,” kata Arrief.
Jumlah penduduk miskin di Provinsi NTB pada Maret 2019 tercatat sebesar 735,960 orang (14,56 persen). Pada September 2018, jumlah penduduk miskin di NTB sebesar 735,620 orang (14,63 persen). Memang terlihat angka kemiskinan naik tipis 340 orang selama periode tersebut karena adanya penambahan jumlah penduduk.
Namun jika dilihat dari persentase penduduk miskin terhadap total penduduk selama periode September 2018 – Maret 2019 yaitu ada penurunan sebesar 0,07 poin. Menurut dia, pada periode September 2018 - Maret 2019, Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di NTB mengalami penurunan dari dari 2,380 pada September 2018 menjadi 2,327 pada Maret 2019.
"Ini mengindikasikan, rata-rata pengeluaran penduduk miskin di NTB cenderung mendekati garis kemiskinan. Kemudian Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) juga mengalami penurunan dari 0,551 pada September 2018 menjadi 0,478 pada Maret 2019. Ini berarti kesenjangan di antara penduduk miskin semakin mengecil," ujarnya.
Dia menambahkan, adapun distribusi persentase kemiskinan di 34 provinsi se-Indonesia dari nilai yang paling tinggi ke nilai paling rendah, Provinsi NTB berada diurutan ke-8 tertinggi setelah Provinsi Papua, Papua Barat, NTT, Maluku, Gorontalo, Aceh dan Bengkulu. Adapun secara nasional, angka kemiskinan berada di angka 9,41 persen.