REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) masih sering menerima keluhan dari nasabah financial technology (fintech) khususnya peer-to-peer lending atau pinjaman daring. Keluhan utama yaitu terkait penyedotan data pribadi.
"Pinjaman daring menduduki ranking ketiga yang dikeluhkan masyarakat di 2018 menyusul keluhan soal perbankan dan perumahan," ujar Ketua YLKI, Tulus Abadi, Selasa (16/7).
Untuk itu, YLKI mendorong penguatan pengawasan oleh regulator. Untuk menekan kasus penyalahgunaan data nasabah ini, menurut Tulus, diperlukan regulasi yang kuat khususnya Undang Undang Perlindungan Data Pribadi.
Tulus melihat regulasi terkait perlindungan data nasabah oleh regulator selama ini masih sangat lemah. Bahkan regulator terkesan membiarkan berlangsungnya praktik pinjaman daring oleh fintech ilegal.
Selain itu, lanjut Tulus, sinergi antar regulator belum kuat khususnya dalam penegakan hukum. Padahal, tidak sedikit pelaku usaha usaha pinjaman daring yang menjadikan konsumen sebagai obyek sapi perah. Mereka menjadikan data pribadi sebagai jaminan dan teror bagi konsumen.
Tulus mengakui, maraknya kasus teror tersebut salah satu faktornya disebabkan oleh rendahnya literasi digital. Konsumen tidak menyadari bahwa data pribadinya digunakan sebagai jaminan.
"Konsumen tidak membaca syarat dan ketentuan yang berlaku. Kalau pun membaca, konsumen tidak paham akan isi dan substansinya," tutur Tulus.