REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Cina sedang mencoba bereksperimen dengan diplomasi publik gaya baru, yakni diplomasi melalui Twitter seperti yang dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Twitter dilarang di Cina, namun diplomat Cina di luar negeri mulai menggunakan platform sosial media tersebut untuk menghadapi kritik eksternal terhadap pemerintahan Beijing.
Awal pekan ini, Wakil Kepala Misi ke Pakistan, Zhao Lijian mulai melontarkan cicitan dalam akun Twitter-nya untuk menanggapi kritikan negara lain terhadap perlakuan China kepada Muslim Uighur di Xinjiang. Dalam cicitannya, Zhao menyasar kritikan dari AS dengan mengungkapkan daftar permasalahan sosial, termasuk persoalan rasialisme di Negeri Paman Sam tersebut.
"Jika Anda berada di Washington DC, Anda tahu orang kulit putih tidak pernah pergi ke wilayah SW, karena itu adalah area untuk orang kulit hitam & Latin. Ada pepatah 'hitam putih dan putih'. Rasisme di AS telah ada sejak zaman kolonial. Stratifikasi rasial terus terjadi dalam pekerjaan, perumahan, pendidikan, pinjaman, dan pemerintahan," tulis Zhao dalam akun Twitter-nya, dilansir The Guardian, Rabu (17/7).
Cicitan Zhao tersebut sudah dihapus, namun dia tetap mengkritik pemerintahan AS dengan menggambarkan kehidupan orang Afrika-Amerika sangat mengkhawatirkan. Tak hanya itu, Zhao juga menyoroti peristiwa penembakan di sekolah yang kerap terjadi di AS, dan pelecehan seksual terhadap wanita sehingga mereka hidup dalam ketakutan.
"Kebenaran memang menyakitkan. Saya hanya mengatakan yang sebenarnya," kata Zhao.
Perkataan Zhao membuat mantan penasihat keamanan nasional AS Susan Rice marah. Rice mengatakan Zhao harus pulang kembali ke China, dan menyebutnya sebagai aib rasialis.
You are a racist disgrace. And shockingly ignorant too. In normal times, you would be PNGed for this.
Ambassador Cui, I expect better of you and your team. Please do the right thing and send him home. https://t.co/KIKanBjQ2L
— Susan Rice (@AmbassadorRice) July 15, 2019
Zhao adalah salah satu dari sekelompok kecil diplomat China yang semakin vokal, dan langsung menyampaikan pesan mereka kepada dunia internasional melalui media sosial. Zhao menggunakan Twitter sejak 2010 dan merupakan perintis di kalangan duta besar lainnya.
Sebuah makalah dalam International Journal of Communication tentang diplomasi publik China melalui Twitter menggambarkan Zhao kurang menahan diri dan berhati-hati dalam berbicara di depan umum dan di media sosial. Di sisi lain, kritikan yang dilontarkan oleh Zhao justru membuat pengikutnya semakin bertambah. Berkat perdebatan sengit antara dirinya dengan Rice, Zhao memperoleh tambahan 1.000 pengikut.
Seorang pakar diplomasi budaya di Xi’an Jiaotong-Liverpool University, Alessandra Cappelletti mengatakan, cicitan Zhao merupakan strategi komunikasi baru yang diadopsi oleh para aktor diplomatik China. "Mereka semakin menggunakan alat ini (media sosial) dengan cara yang efektif dan canggih untuk menjangkau audiens yang lebih luas sebanyak mungkin," ujar Cappelletti.
Menurut Cappelletti, sejak 2014 semua kedutaan besar China di luar negeri telah membuat halaman Facebook resmi. Akun Facebook ini lebih banyak digunakan untuk mempromosikan budaya China dan mengunggah ulang berita-berita dari media resmi pemerintah.
Sementara, akun Twitter biasanya dibuat oleh individu dan lebih bersifat pribadi. Cappelleti mengatakan, akun Twitter tersebut digunakan untuk menunjukkan persepsi bahwa China terbuka dengan dunia luar.
"Tujuan di balik ini adalah untuk membuat China tampak lebih akrab bagi komunitas asing, lebih ramah, lebih mudah didekati, dan lebih terbuka secara langsung. Ketika seorang individu berbicara, lebih mudah untuk berpikir bahwa itu dapat diandalkan, dan tidak ada sensor karena itu adalah individu," kata Cappelletti.
Beberapa pengamat mengkritik unggahan Zhao di media sosial sebagai diplomasi yang macet. Namun, Cappelletti melihatnya sebagai strategi untuk menyoroti posisi Beijing terhadap isu-isu sensitif seperti Taiwan dan Xinjiang, yang berada di bawah pengawasan internasional.
"Itu merupakan kemenangan bagi mereka. Ini adalah permainan yang mulai mereka mainkan, jadi itu adalah salah satu yang mereka perhitungkan dan siap mereka hadapi," ujar Cappelletti.
Akun Twitter pribadi diplomat China cenderung lebih konfrontatif dan kontroversial. Salah satunya yakni Duta Besar China untuk Maladewa Zhang Lizhong yang belum lama ini mengkritik mantan presiden Maladewa Mohamed Nasheed yang kini duduk di parlemen.
Awal bulan ini, Nasheed mengatakan, utang negaranya ke China telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Selain itu, dia juga mengkritik biaya proyek-proyek China dan menyebut pinjaman yang diberikan oleh Beijing sebagai diplomasi perangkap utang.
"Yang tidak bisa saya terima adalah info yang terus-menerus tidak diverifikasi dan menyesatkan kepada publik, yang membahayakan hubungan persahabatan kita. Memiliki dialog (rasional) yang didasarkan pada data yang benar hanyalah panggilan telepon," tulis Zhang dalam Twitter-nya membalas kritikan Nasheed.
Duta Besar China untuk AS Cui Tiankai telah membuat akun Twitter pekan lalu. Dia menggunakan platform media sosial tersebut untuk mengkritik kunjungan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen ke AS. China mengklaim Taiwan merupakan bagian dari China.
"Taiwan adalah bagian dari China. Tidak ada upaya untuk memecah China yang akan berhasil. Mereka yang bermain api hanya membakar diri mereka sendiri," tulis Cui.
Beberapa duta besar China lainnya juga mulai aktif menggunakan Twitter. Misalnya, Duta Besar China untuk Panama Wei Qian membuat akun pada Oktober 2017. Duta besar China untuk India bergabung membuat akun serupa pada Desember 2017.