REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produksi beras pada tahun 2019 diprediksi mengalami penurunan dari tahun lalu. Prediksi turunnya beras itu juga telah terindikasi dari realisasi produksi sepanjang caturwulan I (Januari-April) 2019 yang mengalami penyusutan sekitar 760 ribu ton.
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kemenko Perekonomian, Musdhalifah Machmud, mengatakan, hingga pertengahan tahun cadangan beras pemerintah yang tersimpan di Bulog masih sekitar 2,1 juta ton. Jumlah itu sangat mencukupi, termasuk untuk upaya stabilisasi harga.
Selain itu, pihaknya meyakini ketersediaan beras yang tersebar di masyarakat masih cukup terjaga. Hal itu terindikasikan dari pergerakan harga di pasar yang tergolong stabil.
"Penurunan produksi masih bisa diatasi dengan stok yang ada," kata Musdhalifah kepada Republika.co.id, Rabu (17/7).
Sampai dengan Rabu (17/7), Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) mencatat harga beras kualitas medium I stabil di harga Rp 11.800 per kilogram (kg). Sementara, kualitas medium II juga cenderung stabil Rp 11.600 per kg.
Meski demikian, harga tersebut masih jauh lebih tinggi dari pada Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah antara Rp 9.450 - Rp 10.250 per kg tergantung daerah.
Seiring masih berlangsungnya musim kemarau, Musdhalifah mengamini kondisi tersebut akan berdampak pada tingkat volume. "Ada kekeringan tapi masih bisa berproduksi hanya tidak maksimal," ujar dia.
Ia mengatakan, berdasarkan informasi terakhir dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kemarau pada tahun ini tidak separah tahun 2015 lalu. Pihaknya mengklaim telah melakukan pengecekan langsung debit air di sejumlah pusat irigasi area pertanaman padi. "Air masih cukup, kita masih bisa mempertahankan produksi yang ada," tutur dia.
Sementara itu, Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih, mengatakan, menyusutnya produksi beras selama caturwulan I 2019 kemungkinan besar lantaran banyak petani mengalihkan komoditas padi ke jagung. Itu karena harga jagung pada awal tahun cukup tinggi, sekitar Rp 4.500 - Rp 5.000 per kg.
Adapun pada caturwulan II (Mei-Agustus) produksi diperkirakan masih tetap normal atau sama seperti tahun lalu. Sebab, pada musim pertanaman bulan April-Mei lalu, mayoritas wilayah sentra padi belum memasuki musim kemarau. Produktivitas juga diyakini masih belum berdampak.
Namun, yang perlu diantisipasi jika musim kemarau nantinya berlanjut hingga caturwulan II (September-Desember). Sebab, kata dia, periode September-Oktober merupakan musim tanam sehingga dibutuhkan air yang cukup untuk mengairi sawah.
"Apakah kemarau sampai akhir tahun atau tidak, itu yang gawat dan akan bermasalah untuk produksi," ujarnya.