REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin memberikan tausiyah pada acara halalbihalal dan seminar yang digelar Dewan Masjid Indonesia (DMI) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Rabu (17/7). Dalam acara itu, dia menegaskan Islam wasathiyah tidak bersifat tekstual dan tidak pula liberal. Acara itu sendiri bertema 'Islam Rahmatan Lil Alamin Sebagai Modal Utama Membangun Bangsa.'
Kiai Ma'ruf mengatakan, sebagai bangsa tentu harus kembali kepada jati diri bangsa. Sebagai umat Islam harus kembali ke pangkal yaitu Islam yang rahmatan lil alamin. MUI menyebutnya sebagai Islam wasathiyah atau Islam moderat.
"Cara berpikir Islam wasathiyah tidak tektual dan liberal, tidak terlalu tekstual dan tidak terlalu liberal, (artinya) tekstual tanpa penafsiran, liberal penafsirannya terlalu lebar tanpa batas," kata KH Ma'ruf saat tausiyah, Rabu (17/7).
Ia menjelaskan, cara berpikir tekstual terlalu statis terhadap teks-teks saja. Dapat mengakibatkan kesesatan dalam agama kalau tekstual selamanya. Cara berpikir tekstual itu merupakan kebodohan atau tidak paham apa yang dimaksud oleh ulama terdahulu dan ulama-ulama salaf.
Dia juga menerangkan bahwa syariat ada dua yaitu manshurah dan ijtihadiyah. Kebanyakan syariat hasil ijtihad karena nash terbatas, tapi peristiwa dan masalah tidak terbatas. Karenanya perlunya ada ijtihad yang bisa merespon berbagai persoalan dan perkembangan.
KH Ma'ruf juga menyampaikan bahwa cara berpikir wasathiyah adalah cara berpikir yang tidak galak, tapi tidak terlalu memudah-mudahkan. Sebenarnya secara agama boleh mencari yang mudah, tapi tidak boleh berlebihan mencari kemudahan.
"Gerakan wasathiyah juga harus perbaikan karena Islam itu agama perbaikan, cara menyampaikan (Islam wasathiyah) juga dilakukan dengan santun dan tidak keras, dengan cara sukarela dan tanpa paksaan, tidak ego, tidak intoleran atau fanatik," ujarnya.
Islam wasathiyah, menurut KH Ma'ruf, dakwahnya saling menyayangi dan mencintai, tidak saling membenci dan bermusuhan. Itu sebabnya ulama membangun paradigma ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah insaniyah.
Dia menegaskan, dalam konteks kebangsaan, Islam wasathiyah adalah Islam yang mampu menerima NKRI karena NKRI majemuk. "Karena NKRI bukan hanya kita tapi berkita-kita, Indonesia adalah berkita-kita, majemuk," jelasnya.