REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh Guangdong Islamic Association, Wang Yu Xia, mengatakan Islam berkembang dengan baik di China seiring dengan berbagai regulasi yang berpihak kepada Muslim di negara tersebut.
"Pemerintah China mempersilakan orang memilih keyakinannya masing-masing, hal itu tentu berpegang pada prinsip dasar keagamaan bahwa negara memiliki kebebasan menganut agama tertentu," kata Wang dalam bedah buku "Islam Indonesia dan Islam China" di Gedung Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta, Rabu (17/7).
Dia mengatakan pemerintah China juga memberi kebebasan bagi umat Islam untuk beribadah dan membuat perkumpulan. Selain itu, terdapat tempat makan yang halal, tempat pemotongan hewan halal, dan perayaan Idul Fitri dapat dilakukan.
Rais Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok, KH Imron Rosyadi Hamid, mengatakan konstitusi China menjamin kebebasan beragama. Tidak ada persoalan bagi umat Islam di negera berjuluk negeri tirai bambu tersebut untuk beraktivitas.
Persoalan Muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, menurut dia, isunya bercampur aduk antara kebebasan beragama dengan kegiatan separatisme. "Ini dua hal berbeda," kata Imron.
Dia mencontohkan hal itu sebagaimana pemerintah Indonesia menyikapi separatisme di Aceh dan Papua. Pemerintah menolak separatisme bukan berarti memusuhi agama masyarakat setempat tetapi memerangi kegiatan yang mengancam disintegrasi bangsa.
"Itu bukan berarti kemudian pemerintah anti-Islam di Aceh atau anti-Katolik atau Protestan di Papua. Tapi antiseparatisme saja," katanya.
"Jadi kalau separatisme, negara mana yang rela wilayahnya lepas? Saya kira tidak ada. Nah, mekanisme dan kebijakan mereka untuk menghindari terlepasnya sebuah wilayah itu harus kita hargai dengan mekanisme apapun," kata dia.